All the Flowers in Shanghai

Cover “All the Flowers in Shanghai” (Serambi: Juni 2012). Akan lebih bagus lagi kalau modelnya berwajah klasik, seperti dalam versi aslinya, terbitan William Morrow, New York.

Mungkin karena penulis novel “All the Flowers in Shanghai,” (Serambi: Juni 2012) Duncan Jepson, adalah juga seorang sutradara film-film dokumenter, maka jadilah novel ini terkesan seperti menyaksikan tontonan film dokumenter. Terkesan lambat, lembut, tapi tetap memikat.

Novel ini termasuk sebagai buku best-seller di New York. Tapi pertanyaannya kemudian, apakah novel ini juga bakal best-seller di Indonesia? Rasa-rasanya kita harus membedahnya terlebih dahulu dari kacamata isi novel dari sudut pandang pembacanya. Masyarakat New York itu beda dengan msayarakat Jakarta (baca: Indonesia). Masyarakat New York, jelas-jelas hidup di dunia super modern, mega politan, dan sebagai pusat peradaban dunia abad masa kini. Manusia yang tinggal di dalamnya pasti akan mudah tersentuh dengan segala sesuatu yang berbau oriental dan klasik. Apalagi, novel ini menggambarkan suasana Shangai pada tahun 1930-an, saat China masih hidup dalam alam tradisi kolot dan kuno. Maka pembaca Indonesia, tak akan memiliki mind-set yang sama ketika membaca kisah yang tertulis di sana.

Cerita mengalir lambat, menceritakan kehidupan sebuah keluarga kelas menengah ke bawah yang berambisi untuk bisa menaikan derajad keluarga dengan menikahkan anak-anaknya dengan keluarga kelas atas.

Cerita kemudian bergulir tentang tokoh Xiao Feng, yang harus menggantikan peran kakanya yang meninggal dunia dan harus menikah dengan anak orang kaya. Justru di sinilah awal petaka itu. Xiao Feng telah menemukan cinta sejati dengan seorang pemuda, anak penjahit pakaian pengantinnya, Bi. Tapi cinta itu kandas karena Xiao Feng harus menikah dengan Xiong Fa, lelaki gendut, anak orang kaya itu. Padahal Xiao Feng tak lebih hanya dijadikan induk untuk melahirkan cucu-cucu ahli waris kekayaan orang tua Xiong Fa. Dan cucu itu harus seorang laki-laki sehat sempurna. Apa jadinya ketika anak pertama yang lahir adalah perempuan, dan anak keduanya adalah seorang laki-laki, tapi pincang kakinya?

Cerita terus bergolak tentang pertentangan batin Xiao Feng untuk berontak, keluar dari jerat tradisi masyarakatnya yang kolot dan tak menghargai perempuan. Xiao Feng belajar banyak dari sahabatnya, Ming, yang berani melawan tradisi, pergi ke Amerika. Maka di tengah-tengah puncak deritanya sebagai perempuan, Xiao Feng memutuskan pergi dari rumah, yang telah memberinya rasa nyaman, menggelandang di tengah-tengah kecamuk revolusi China di bawah kekuasan Ketua Mao. Hanya satu yang ada dalam pikirannya, pergi menemui Bi, cinta sejatinya.

Apakah Xiao Feng bisa berjumpa dengan kekasihnya? Bagaimana nasib anak lelakinya , Lu Meng, yang pincang itu? Bagaimana dengan nasib anak perempuan pelayan di rumahnya sendiri, Sang Yu,  yang telah dia pukul dan teriaki sebagai pelacur, karena mencoba merebut cinta dari anaknya dan suaminya sendiri? Padahal, kenyataannya, Sang Yu adalah anaknya sendiri yang dulu dibuang dan diasuh oleh orang desa karena berjenis kelamin perempuan.

Kisah dalam novel ini sarat dengan derita masa lalu tradisi kuno bangsa Asia. Yang  sebagian besar masih ada di beberapa tempat pelosok desa. Maka saya ingin menutup bab ini dengan mengatakan bahwa novel ini memang eksotik untuk orang Amerika moderen, tapi mungkin terasa biasa bagi orang Indonesia yang beberapa di antaranya pernah mengalami kisah jaman Siti Nurbaya itu.

Review buku oleh Hartono Rakiman, pengasuh Rumah Baca.

1 Response to “All the Flowers in Shanghai”


  1. 1 Jamal Kutubi Tuesday, July 10, 2012 at 4:47 pm

    keren, masukan buat covernya ada di bawah gambar.. bisa ditiru.. hehehe


Leave a comment




Data pengunjung

  • 364,856 Kunjungan

Resensi yang lain

Index

my pictures at flickr

Goodreads