Posts Tagged 'Islam'

Mengislamkan Jawa, Mungkinkah?

buku_mengislamkan-jawa“Mengislamkan Jawa” (Serambi: November 2013) karya M.C. Ricklefs,

Buku setebal 885 halaman ini memang lumayan berat untuk dibaca sambil duduk dengan kedua tangan menyangga buku. Isinya juga lumayan berat, tapi teknis penulisan dari Prof. Ricklef cukup membuat buku ini enak untuk dinikmati sampai halaman terakhir. Teknis penulisannya seperti sedang mendegarkan kuliah dari sang professor sejarah. Saya menjadi terlena untuk mnedalami isinya, memahami proses Islamisasmi di tanah Jawa periode 1930 hingga kini.

Kebetulan saya orang Jawa yang merasakan dinamika seperti yang digambarkan dalam buku ini. Saya lahir dari keluarga abangan. Menurut cerita dari kerabat dekat saya, bapak dan ibu saya dulunya beragama Islam (abangan) yang kemudian pindah agama Kristen. Sebaliknya, saya sendiri mengalami perpindahan dari Kristen ke Islam semenjak menikah. Meskipun hidup dalam keluarga yang multi religius, kehidupan kami baik-baik saja. Kami tidak mengalami intensitas  ketegangan agama seperti yang terjadi semenjak pasca kajatuhan Orde Baru. Kami dibesarkan dalam tradisi Kristen, dari 6 anak yang hidup, hanya 1 yang Kristen, 1 katholik dan selebihnya menjadi Islam. Barangkali itu adalah protret keluarga Jawa, khususnya yang tinggal di sekitar Surakarta. Maka dalam alam pikiran kami, Ilsam dan Kristen itu sama saja. Menurut catatan Ricklef, kota Solo menyumbang komunitas Kristen hingga seperempat penduduknya, yang dulunya dapat dipastikan kelompok Abangan. Jangan-jangan bapak dan ibu saya menyumbang prosentas 25% itu.

Buku ini banyak menguak  peristiwa yang sebelumnya tidak saya ketahui, atau saya baru “ngeh” atas rangkaian keajian yang melingkupinya. Dari situ, minimal saya bisa mengerti duduk persoalan dari perspektif sejarah yang benar.

Apakah saya muslim sejati? Itu pertanyaan yang terus menggelayuti pikiran ketika sedang membaca buku ini.  Jangan-jangan saya masih termasuk dalam kelompok Islam abangan, meskipun secara ritual mencoba untuk menjadi Islam yg taat dengan menjalankan 4 dari 5 rukun Islam, kecuali ibadah haji.

Buku ini mengupas masukkannya Islam sejak 1930, meskipun sebenarnya juga disinggung beberapa catatan Islam sebelum itu, ketika berbagai praktik pra-islam seperti berbagai tradisi mistik Jawa masih banyak dipraktekkan kala itu.

Era gerakan Islam pada era 1930 dimulai dengan munculnya organisasi besar keagamaan beralian modernis (Muhammadiyah-1912) dan tradisionalis (NU-1926). Muhammadiyah yang bermarkas di Jogja mencoba meluruskan Islam melalui pendidikan dan merangkul kelompok terdidik di perkotaan. Sebaliknya NU menempuh jalur tradisional dengan tetap mengakui budaya lokal seperti selamatan, zikir, ziarah kubur, dll. Dengan demikian organisasi NU berbasis di desa dan memulai kiprahnya dari pondek pesantren di Jombang.

Masa itu, Islam muncul sebagai gerakan antithesis dari kolonialisme Belanda atau kezaliman manusia atas manusia yg lain. Tentu saja gerakan Islam di akar rumput ini mendapat sorotan tajam dari penguasa kolonial yang khawatir jika  sewaktu-waktu dapat merongrong kekuasaan mereka. Pada masa pendudukan Jepang, gerakan Islam kurang mendapat sorotan, namun demikian juga tidak berkembang secara signifikan.

Pada masa orde lama, di bawah Soekarno, Islam mendapat saingan berat dari faham komunisme yang digerakkan oleh kelompok abangan, yang secara politik bersebarangan, terwakili lewat partai PNI dan PKI di satu sisi, dan Masyumi di sisi yang lain, di mana NU menjadi bagian dari Masyumi. Kelompok abangan ini kemudian juga dituduh ateis,  oleh karena itu halal hukumnya untuk dibunuh. NU merasa merasa perlu untuk mendukung pembersihan kelompok abangan pada tahun 1965-66 yang membawa Soeharto ke puncak kekuasaaan.

Merasa komunisme sudah hilang tidak otomatis gagasan kejayaan Islam sudah terpampang di depan mata. Soeharto ternyata melihat NU dapat menjadi batu sandungan terhadap kekuasaan yang sedang dia bangun. Maka kemudian Soeharto megeluarkan tandingan dengan gerakan pembanguan ribuan masjid, memberi kursus keagamaan kepada guru-guru agama Islam, serta mendirikan Yayasan Amal Muslim Pancasila. Di luar terlihat bahwa Soeharto memperhatikan Islam, meskipun sebenarnya itu adalah Islam yang sudah dikebri di bawah kendali rezim birokrasi yang dia bangun. Soeharto sendiri masih mempraktikan ilmu-ilmu kejawen yang kuat. Soeharto juga melindungi lairan kebatinan/ kepercayaan yang itu jelas-jhelas ingin diperangi oleh kelompok Islam.

Puncak kekecewaan NU adalah ketika pada era tahun 1970-an jatah menteri agama yang bisasanya diberikan kepada NU, semenjak itu sudah deserahkan kepada Masyumi, pada jaman Mukti Ali.

Selain Muhammadiyah dan NU sendiri, sebenarnya telah lahir bibit-bibit Islam garis keras macam LDII atau kelompok Salafi yang digagas Abu Bakar Ba’asyir dan Abdulllah Sungkar di Surakarta. Tapi di bawah kekuasan Soeharto yg totaliter, hal itu dapat dikendalikan. Maka pada masa Orde Baru, lawan utama sesunggunya Islam adalah Aliran kebatinan, dan tentu saja Kristenisasi.

Pasca kejatuhan Soeharto keadaan tidaklah menjadi lebih baik bagi gerakan Islamisasi, karena Islam garis keras justru semakin merajelala, seperti kemunculan MMI, JI, HTI, FPI, FPIS, juga pada gerakan melalui partai yang diwaliki PK (yang kemudian berganti nama menjadi PKS), dan tentu saja LDII. Beberapa diantaranya kemudian dituduh terlibat dengan aksi terorisme di Indonesia yang justru merugikan gerakan Islamisasi di  Indonesia.

Maka setelah itu, gerakan Islamisasi di Jawa tak lagi berhadapan dengan kelompok Abangan-Kristen, alih-alih justru berhadapan dengan Islam  garis keras, melalui wajah terorisme yang kemudian diparangi oleh pemerintah melalui Densus 88 yang mendapat sokongan dana dari Amerika Serikat dan Australia pasca bom Bali,

Diskusi penting dari buku ini adalah soal kebebasan dan keadilan. Apakah kita mau mengambil jalan demokrasi,berupa kebabasan (liberalisme)  ala Plato. Atau mencari keadilan yang ilaiah dengan mendirikan Khilafah seperti pada jaman nabi, yang kini secara keras diperjuangan oleh HTI, FPI dan kelompok garis keras lainnya.

Pilihan terakhir tampaknya terdengar utopis, meskiun hal itu untuk sementara orang menjadi sesuatu yang wajib untuk diperjuangkan. Pertanyaaanya apakah hal itu harus ditempuh dengan jalan pedang?

Masyarakat Jawa yang mayoriatas Islam ternyata tak semudah itu untuk diajak menuju ke sana, Dalam hatinya yang paling dalam, menurut saya,  lebih menyukai budi luhur, harmonisasi, menghargai budaya nenek moyang yang kian hari kian dibabat habis oleh gerakan Islam yang mencoba membebaskan diri dari syirik dan segala sesuatu yang mensekutukan Tuhan.

Pada bagian akhir buku ini menawarkan diskusi tentang arti kebebasan dan keadilan di atas. tentang siapa yang punya otoritas  untuk melakukannya. Jawaban yang diharapkan berpulang pada kuasa negara yang sampai pada detik ini mengambil jalan demokrasi.

Buku ini adalah hasil penelitian Prof. Ricklef bersama kawan-kawan peneliti dari Indoesnia dengan mengabil kasus di Kediri dan Surakarta, atas bantuan pemerintah Australia. Dua lokasi ini mewakili potret pergeseran Islam dengan segala dinamika yang melingkupinya. Lokasi penelitan kemudian bertambah di Jogja  dan Surabaya atas bantuan pemerintah Singapura. Praktis, penelitian yang kemudian dibukukan ini menhabiskan waktu lebih dari 7 tahun.

Keterangan lain tentang buku ini dapat dibaca pada reportase saya ketika menghadiri launching buku ini di CSIS.

Review buku oleh Hartono Rakiman, pengasuh Rumah Baca.

 


Data pengunjung

  • 364,884 Kunjungan

Resensi yang lain

Index

my pictures at flickr

Goodreads