Beda Facebook dan Twitter

Dalam sebuah perjalanan mudik lebaran dengan bus ekonomi, saya duduk bersebelahan dengan seorang bapak yang kelihatan ramah, alias banyak nanya-nanya. Pertanyaan pertama yang terdengar standar: ”Kok perginya sendirian aja. Adik mau ke mana?” Pertanyaan yang terdengar aneh, wong kami naik bus dengan jurusan yang sama kok masih ditanya mau kemana. Maka jawaban standar yang saya berikan juga sederhana: ”Sama-sama ke Solo, Pak!”

Jawaban itu bukannya menghentikan keramahan bapak di sebelah saya itu. Lalu terdengar pertanyaan yang kedua, ”Solonya di mana?” Nah, lo.

Maka dapatlah ditebak bahwa deretan pertanyaan berikutnya sungguh tak penting. Maksudnya pertanyaan itu sebenarnya tidak punya kaitan apapun dengan konsekuensi jawaban yang diberikan. Apa bedanya kalau saya jawab Sragen, Wonogiri, Karanganyar, atau Boyolali untuk pertanyaan Solo-nya di mana? Apakah bapak itu akan membantu mengongkosi perjalanan saya? Tentu tidak. Itu pertanyaan basa-basi yang sungguh merepotkan.

Pada sebuah kesempatan lain, saat saya sedang berada di atas kapal pesiar, kebetulan waktu itu sedang off duty, dan kapal sedang singgah di Alaska. Ada seorang pria bule yang sedang memegang binokular, dan asyik mengamati hamparan gunung salju abadi di seberang sana. Saat binokular itu diturunkan dari depan mata, dan dibiarkan menggantung di dada, pria bule itu menghela nafas sebentar dan dengan tenang bergumam kepada saya, ”So gorgeous. This is the most beautiful scenery I have ever seen. What do you think?”

Lalu kami ngobrol soal keindahan alam ciptaan dari Yang Maha Kuasa, tentang perubahan iklim, hiruk-pikuk orang yang sedang mengabadikan pemandangan spektakular itu, dan obrolan lain yang seru. Pada akhir sesi obrolan itulah, kami baru bertukar sapa tentang nama dan asal kami masing-masing, berjabat tangan, dan berharap suatu ketika akan berjumpa lagi.

Dua skenario nyata yang pernah saya alami itu mengingatkan saya pada fenomena maraknya media sosial yang bernama Facebook dan Twitter belakangan ini.

Menurut angka statistik dari eBizMBARank yang berbasis di AS, pengguna Facebook ada sekitar 700 juta, sedangkan pengguna Twitter ada 200 juta. Ternyata angka pengguna Facebook melampaui pengguna Twitter, dan pengguna paling besar, dengar-dengar dari Indonesia. Lalu saya mencoba membuat analisis sederhana, adakah perbedaan karakter pengguna Facebook dan Twitter?

Sesuai namanya, Facebook, dia adalah platform media sosial untuk nampang. Terjemahan bebasnya adalah Bukuwajah. Maka tak heran kalau di sana terpampang jutaan wajah-wajah dari seantero dunia. Foto profil bisa diganti-ganti. Bagi yang belum puas juga, ada yang sampai membuat foto wajah dirinya dalam berbagai pose. Tapi percayalah, wajahnya ya tetap itu-itu juga. Facebook kemudian memang menjadi ajang narsis yang luar biasa.

Obrolan dalam Facebook diawali dengan who am I, who are you, what am I doing, what are you doing? Ingat pertanyaan bapak di dalam bus ekonomi yang menanyakan tentang keberadaan saya yang pergi sendirian, dan mau pergi ke mana. Jadi fokusnya pada subyek: siapa?

Barangkali berbeda dengan platform Twitter. Twitter agak susah untuk ajang narsis, karena platform ini membatasi diri dengan 140 karakter saat orang menuliskan sesuatu. Dan isinya memang hanya kata-kata melulu, meskipun ada fasilitas untuk link ke foto-foto atau platform lainnya. Obrolan yang biasa muncul di situ adalah tentang sesuatu, something out there yang menjadi bahan obrolan seru, mirip cicit cuit burung-burung di pagi hari. Jadi Twitter lebih cenderung berbicara obyek: apa?

Siapapun yang tertarik untuk nimbrung dan membahas suatu topik di Twitter, dipersilahkan langsung ikut cicit cuit, tanpa harus nunggu konfirmasi dari orang yang diajak untuk koneksi. Langsung follow saja, then everything will be ok.

Bagi yang cerewet, ada dua konsekuensi. Konsekuensi pertama bisa di-follow orang, atau bahkan di re-tweet. Konsekuensi kedua, bisa dicuekin! Mungkin saja topik obrolan yang dilempar tidak menarik. Biasa-biasa saja.

Kasus Koin Keadilan Prita dapat dijadikan contoh bahwa media sosial Twitter ini ampuh untuk menggulirkan sebuah isu, sesuatu tentang: apa. Dia bisa berjalan seperti bola salju, menggelinding liar. Orang-orang yang terlibat dalam obrolan tak perlu menanyakan lebih dulu, ”who are you?”, langsung saja nimbrung dalam diskusi seru itu.

Kesimpulan dari analisis sembarangan yang saya buat adalah bahwa orang dari belahan dunia Timur lebih mirip dengan karakter Facebook, sementara orang dari belahan dunia Barat lebih mirip dengan karakter Twitter. Meskipun kesimpulan ini memang dibuat agak ngawur, karena banyak juga orang barat yang menggunakan Facebook.

Ada juga orang yang suka dua-duanya, termasuk saya. Semoga saja mereka tidak masuk angin karena mendapat serangan angin barat dan angin timur!

by Hartono Rakiman

2 Responses to “Non Fiksi”


  1. 1 miyu Friday, December 16, 2011 at 2:11 pm

    hahhaaa… reliabilitasnya perlu diuji tuh… abis metode samplingnya gak valid… 😀

  2. 2 Hartono Rakiman Friday, December 16, 2011 at 2:40 pm

    Khan sudah dibilang ini analisis yang agak ngawur ha…..ha…..ha…
    Tapi kecenderungan orang timur suka pada pertanyaan: siapa, dan orang barat lebih suka pada pertanyaan: apa, benar khan?


Leave a comment




Data pengunjung

  • 365,021 Kunjungan

Resensi yang lain

Index

my pictures at flickr

Goodreads