Suasana diskusi di rumah Ronny Agustinus

Reported by Elizabeth Tata
Klub Buku Kita tidak hanya tentang berbagi pengalaman soal buku yang dibaca, tapi juga mencari-tahu segala hal tentang buku. Pada pokoknya Klub dibentuk agar para anggota yang memang suka membaca buku tidak sekedar membaca buku tapi juga mendapatkan buku yang bermutu. Di masa sekarang, saat gerakan menerbitkan buku di Indonesia tengah menggeliat – penerbit besar, kecil, maupun yang sifatnya independen seperti tengah berlomba untuk meramaikan pasar buku. Tapi bagaimana memilih buku yang bagus, mengasyikkan, dan bermutu?

Di situlah peran resensi buku. Ia, ibaratnya adalah jembatan antara penerbit dan pembaca buku. Di antara keterbatasan waktu, keberlimpahan ragam buku di pasar, dan keinginan untuk membaca – jujur saja, kita perlu resensi buku.

Masalahnya, tak semua resensi buku bisa dipercaya; dan lingkaran setan pun dimulai. Nah, itu salah satu hal yang dibincangkan dalam pertemuan Klub Buku Kita pada Minggu, 25 November lalu di kediaman Ronny Agustinus, Pemimpin Redaksi Marjin Kiri di kawasan Serpong Utara, Tangerang Selatan. Hal lainnya adalah, membangkitkan semangat berbagi – yang dimaksud tentu adalah berbagi pengalaman usai membaca satu buku. Tidak hanya secara lisan, melainkan dalam bentuk tulisan: sebuah resensi buku.

Pertemuan kali ini menggembirakan karena selain bertemu dengan Ronny Agustinus (1) anggota Klub juga bertemu dengan Hartono Rakiman, pengasuh blog Rumah Baca (2) – sebuah blog yang ditujukan untuk mendiskusikan buku, dan Aldo Zirsov, anggota GoodReads (3) dan mantan moderator GoodReads Indonesia. Ketiganya bicara soal resensi buku dari berbagai perspektif yang berbeda.

ka-ki: Hartono – Aldo – Ronny

Ditambah mereka bertiga, jumlah kami semua yang ikut pertemuan hari itu ada 12 orang yaitu anggota Klub Buku: Restanti Ria Natalisa, Elisabet Tata, Neneng Rahmawati, Lies Indriati, Nuris Andri, Fachmi dan anggota Komunitas Rumah Baca yaitu Indriyani Hartono, Annisa Muzzizah, dan Nisa.

Ronny memulai perbincangan dengan cerita terkenal dari dunia resensi Indonesia. Diawali dengan dimuatnya satu resensi Profesor Saleh Iskandar (S.I) Poeradisastra, seorang akademisi, sastrawan, dan jurnalis, di Majalah Tempo pada 16 September 1978. Resensi berjudul “Dari Barat, atau Islam?” itu menyoal buku karya Profesor Slamet Iman Santoso, pendiri Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan tokoh pemerhati pendidikan di tanah air berjudul “Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan.”
Buku Profesor Slamet yang diterbitkan oleh Proyek Pengadaan Buku Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada 1977 itu diulas habis-habisan oleh Poeradisastra atau yang juga punya nama pena Boejoeng Saleh. Kealpaan Profesor Slamet menuliskan runutan sejarah – dari masa Yunani melompat ke abad Pencerahan di Eropa tanpa menyinggung peran Islam menjadi kritik utamanya. Menyadari kekeliruannya, Profesor Slamet meminta buku itu ditarik dari peredaran. Itu tadi contoh resensi yang berdampak besar. Sifatnya mengkritik. Resensi semacam ini bisa jadi pedang bermata dua. Ia positif dalam arti menunjukkan salah satu kekeliruan dari sebuah tulisan. Juga jadi satu “peringatan” bagi para penulis buku untuk jangan asal dalam berkarya ataupun bagi penerbit agar jangan asal menerbitkan buku. Baik itu untuk buku-buku hasil tulisan sendiri maupun hasil terjemahan dari karya orang lain. Di sinilah pentingnya resensi kritis. Ia jadi satu ujian tersendiri apakah buku itu bagus, bermutu, dan diminati masyarakat ataukah tidak.

Ronny yang juga seorang penerjemah sastra Amerika Latin mengaku menekuni dan mengoleksi sastra-sastra Amerika Latin untuk memperdalam pemahamannya. Menurut pendapatnya, menerjemahkan satu tulisan dari bahasa asing ke Bahasa Indonesia bukan sekadar soal bahasa semata.

Di sisi persaingan pasar buku, resensi yang bersifat kritis atau resensi kritik bisa jadi sesuatu yang negatif karena digunakan sebagai alat “pertempuran” antar penerbit. Penerbit yang menghalalkan segala cara agar buku yang diterbitkannya laku bisa saja membayar seorang penulis resensi untuk menjelek-jelekkan buku terbitan penerbit lainnya. Namun, jika sekali saja praktik seperti ini ketahuan masyarakat, sudah pasti harga diri mereka – baik penerbit maupun penulis resensi – akan jatuh.

Hartono Rakiman punya pendapat lain. Ia bilang, resensi yang hanya menjelek-jelekkan karya orang lain adalah sampah belaka. “Dunia ini indah, kenapa harus saling mencerca?” ujarnya. Saat membangun blog Rumah Baca di dunia maya, Hartono punya misi untuk menyebarkan kebaikan bagi siapa saja melalui baca buku. Karena itu, resensi yang dimuat dalam blog bersifat cerita saja. Mengungkap kisah pribadi saat membaca buku, mengambil hal-hal positif dari isinya dan menuliskannya.

Menuliskan kisah pribadi saat membuat resensi buku merupakan cara yang disukai Aldo Zirsov. Meski mengaku ia jarang menulis resensi, tapi menuliskan hal-hal remeh seperti bagaimana buku diperoleh – apakah beli atau pemberian teman, dimana lokasi membacanya, atau apa yang ia dapat usai membaca buku menjadi satu hal yang menarik. Resensi macam itupula yang dicari Aldo sebelum membeli buku. Aldo bilang, itu satu bukti otentik bahwa tulisan itu adalah murni hasil karyanya. Ia menyebut banyaknya resensi yang sifatnya standard hanya menuliskan kembali isi buku atau bahkan menyalin resensi orang lain. Resensi macam itu, “tak menarik sama sekali,” ujarnya.

Supaya tidak terkecoh dengan satu resensi buku, bagi Aldo yang penting adalah tahu siapa yang menulisnya. Mendapatkan resensi buku yang bagus akan membuat Aldo menghemat uang dan waktu – dua hal yang sungguh berharga. Tapi, darimana tahu mana penulis resensi yang baik dan mana yang tidak? Di situlah pentingnya bergabung dalam satu komunitas pecinta buku. Aldo cerita, dengan bergabung di GoodReads Indonesia ia telah berkenalan dengan banyak orang yang mengerti buku. Ia mengaku mendapat banyak manfaat positif dari sana.

Fachmi, anggota Klub Buku Kita, tanya, “Bagaimana membuat resensi yang baik itu?” Ronny dan Aldo tak memberikan jawaban detil. Mereka merujuk ke sosok yang sangat dikenal dalam dunia resensi Indonesia yaitu Hernadi Tanzil (4). Di dunia maya, Hernadi membangun blog yang berisi resensi terhadap buku-buku yang sudah dibacanya (5). Dari sana, kita bisa belajar bagaimana menulis satu resensi yang baik. Soal gaya penulisan bisa menyusul kemudian. Seorang pemula bisa mengawali dengan meniru terlebih dahulu, lambat laun ia akan menemukan gayanya tersendiri. Namun yang terpenting adalah “mulai menulis”.

Tak perlu khawatir soal bagus atau tidak, yang penting berlatih meresensi. Untuk menguji barangkali bisa dimuat di blog pribadi dulu, atau di jejaring sosial untuk mendapat tanggapan balik. Baru kemudian meluas ke blog komunitas seperti Rumah Baca yang diasuh Hartono Rakiman, misalnya. Jika ingin melewati tahap berikutnya bisa dikirim ke media massa – barangkali yang lokal dulu baru kemudian meningkat lagi ke skala nasional.

Satu hal lagi yang dituturkan Ronny, resensi sebuah buku tidak melulu menyoal satu buku itu saja. Akan lebih menarik jika penulis resensi juga membandingkan dengan buku-buku lain yang menyoal hal yang sama. Meski di Indonesia gaya penulisan resensi macam ini belum populer, tak ada salahnya jika kita mencoba membuatnya. Fachmi ingin tahu lagi, “Apakah menulis resensi bisa dijadikan sebagai satu profesi?” Ronny tidak menjawab langsung. Ia hanya cerita ada sosok penulis resensi bernama Ijul atau Yuliono (6) yang direkrut oleh sebuah penerbitan gara-gara hobi menulis resensi. Ijul punya ciri khas menyoroti satu buku dari sisi yang kelihatannya “sepele” macam desain tipografi, penempatan tanda baca, pemenggalan kata, pemakaian huruf besar, dan hal-hal macam itu. Ini nampaknya tak perlu-perlu amat, tapi sebenarnya hal yang sangat positif dalam upaya memproduksi buku-buku yang berkualitas – tidak hanya dari sisi isi tapi juga fisiknya. Dunia perbukuan yang baru menggeliat di Indonesia tentu butuh sosok seperti Ijul.

Sebuah penerbitan yang tertarik dengan cara Ijul menawarinya posisi sebagai proof-reader di kantornya atau seseorang yang tugasnya adalah meneliti kesalahan teks yang nampaknya “sepele” tadi.

Hartono punya jawaban tersendiri untuk Fachmi. Ia bilang, pekerjaan menulis, menerjemahkan, ataupun meresensi buku bisa saja dijadikan sebagai satu profesi dengan catatan ia harus berada pada tingkat yang paling tinggi dalam hal itu. Jika sekadar menulis satu atau dua tulisan atau masih dalam tingkat yang biasa-biasa saja – tentu saja belum cukup.
Obrolan tentang resensi buku siang itu mengalir ditingkah canda dan – tentu saja – kudapan yang tersedia. Seperti dalam pertemuan buku yang sudah-sudah, kudapan yang tersaji adalah kudapan tradisional. Kali ini, karena banyak yang membawa kudapan dari rumah, ragamnya jadi banyak. Ada kedelai kukus, pisang kukus, pisang goreng pasir, bolu kukus gula aren, kueh ku, tape ketan bungkus daun jambu, dan cak-we. Ada juga permen ting-ting jahe dan Davos.

gado-gado dan kudapan lainnya

Sebagai penutup, apalagi kalau bukan gado-gado dengan bumbu dari Nuris Andri, anggota Klub Buku Kita.

Singkat kata, pertemuan Klub Buku Kita kali ini berlangsung seperti yang lalu-lalu juga. Menyenangkan, mengasyikkan, mengenyangkan, menyehatkan, menambah wawasan dan semangat untuk baca dan baca lagi…Terima kasih buat semua!

Inilah para pegiat buku di Klub Buku Kita. Cheers!

Catatan kaki:
1) Alamat blog Ronny Agustinus: http://sastraalibi.blogspot.com/
2) Alamat blog Rumah Baca: https://rumahbaca.wordpress.com/
3) Aldo Zirsov di GoodReads: http://www.goodreads.com/user/show/1205587
4) Tentang Hernadi Tanzil:
http://alineakata.wordpress.com/2012/05/04/twitteriak-interview-dengan-hernadi-tanzil/
5) Blog Hernadi Tanzil: http://bukuygkubaca.blogspot.com/
6) Blog Ijul: http://perpusnya-ijul.blogspot.com/
*) buku tentang bagaimana meresensi buku: http://indonesiabuku.com/?p=9308

3 Responses to “Klub Buku Kita: Berbicara Tentang Resensi”


  1. 1 Tata Tuesday, November 27, 2012 at 9:27 am

    Koreksi:. Poeradisastra bukan profesor, tapi pernah ikut Program Exchange Profesor di Moskow pada 1962-1964. Jadi resensi thdp buku Prof. Slamet itu memang bikin heboh karena seorang sastrawan mampu “menaklukkan” seorang Profesor.


  1. 1 Berbicara Tentang Resensi | AkuBuku Trackback on Monday, May 27, 2013 at 4:26 pm

Leave a comment




Data pengunjung

  • 365,020 Kunjungan

Resensi yang lain

Index

my pictures at flickr

Goodreads