Majapahit Milenia

WhatsApp Image 2019-12-10 at 12.01.09Dunia ini banyak menyimpan misteri dan rahasia yang belum terkuak. Tuhan memang sengaja menyimpan-Nya agar manusia punya pekerjaan yang belum selesai. Bukankah misteri itu mengandung rasa penasaran yang membuat orang tak bisa diam?  Sama seperti orang main game PS, yang akan merasa ketagihan dan berusaha naik level. Ketika semua level sudah terlampaui, orang menjadi bosan dan permainan PS tidak lagi menarik hati.

Selain alam dan Tuhan itu sendiri, manusia juga gemar menyimpan misteri, membungkusnya dalam balutan makna yang tak semua orang mampu mengurainya. Maka diciptakanlah syair, tembang, lukisan, gambar, kiasan, dll.

Tengoklah 11 tembang Macapat, yang ternyata menyimpan pesan berupa siklus hidup manusia sejak dalam kandungan hingga ajal menjemput: Maskumambang, Mijil, Kinanthi, Sinom, Asmaradhana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, dan Pucung.

Novel Majapahit Milenia (KPG: 2019) yang dianggit oleh Bre Redana berangkat dari misteri masa lalu yang belum semua orang memahaminya. Bre Redana menggunakan ke-11 tembang sebagai latar belakang setiap babak cerita yang dia tulis, namun dengan teknik yang tidak linier. Urutannya bisa dibolak-balik sesuai suasana hati yang ingin dibangun melalui narasai cerita yang dia sajikan.

Misteri sejarah masa lalu berawal dari tetirah Bre Redana di sebuah candi kuno yang terletak di lerang Gunung Lawu, Candi Cetho. Di sana, Bre Redana merasa ‘kangslupan” roh Banca dan Naya.

Banca dan Naya adalah sang pemomong tanah Jawa pada masa kejayaan Majapahit. Keduanya moksa (hilang tak berbekas) dan berjanji akan kembali sewaktu-waktu untuk bikin perhitungan. Banca sesumbar: “Titenono! (Ingatlah) Kami tidak rela kerajaan kami pecah berkeping-keping, negeri kami hancur. Setiap saat kami akan kembali.”  Dan benar, keduanya masuk ke tubuh, pikiran dan jiwa Bre Redana. Semenjak itu cerita yang diawali dari runtuhnya kerajaan Majapahit, di bawah kekuasaan Girindrawardana,  mengalir deras hingga munculnya Kesultanan Pajang di bawah kekuasaan Sultan Hadiwijaya, sebagai titik awal munculnya kerajaan Mataram Kuno.

Semenjak Bre Redana menganggap dirinya sebagai tukang cerita, dia dengan bebas mengarang dan menambah-nambahi dengan versinya sendiri. Maka jangan heran, ketika Banca dan Naya yang masuk ke dalam tubuh tukang cerita sekalipun, bisa geleng-geleng kepala ketika tukang cerita menambahi pernah bertemu lelembut Gunung Lawu dalam sosok wanita cantik. Tukang cerita menambahi: ada tahu lalat di pundaknya!

Jangan heran juga ketika tukang cerita sangat menggemari cerita percintaan antara tokoh laki-laki dengan tokoh perempuan cantik. Muncullah sederet tokoh wanita, seperti Dewi Candrakirana, Dewi Anggraeni, Kembangsari,  Mawarwati, Dewi Ungaran, atau Woro Andhini. Tengok saja ketika tokoh Karebre dan Manca melawat ke Kedungsrengenge. Keduanya punya selera yang berbeda, Mas Manca tertarik dengan Woro Andhini yang semok, dan Karebre yang suka perempuan langsing!

Porsi cerita untuk tokoh Karebre lumayan panjang dibandingkan tokoh yang lain. Saya curiga tukang cerita memang sengaja meminjam sosok Karebre yang punya darah Majapahit, dengan suku kata khas Majapahit: Bre. Cocok dengan nama pena tukang cerita: Bre Redana. Mungkin saja dia punya darah Majapahit yang mengalir dalam tubuhnya.

Kalau diperhatikan benang merah cara bertutur Bre Redana yang cenderung ndugal dan nakal sudah terlihat sejak tulisan-tulisannya mengalir dalam buku “Urban Sensation, Rex, Blues Merbabu atau 65.” Buku-bukunya bertebaran dengan aroma wangi tubuh perempuan. Tapi bukankan sebagian besar  pembaca menyukainya?

Dalam strategi komunikasi, pesan tak boleh hanya berfungsi inform saja, tapi juga harus entertain, dan pada tataran yang leih tinggi harus bisa persuade.

Benang merah selain soal perempuan adalah setting cerita yang tak jauh-jauh dari Boyolali, Sela, Merapi-Merbabu, Salatiga, Pengging , dan sekitarnya. Di situlah tukang cerita bisa mengeskplorasi setting lokasi yang sangat dia kenal.

Setting cerita Padepokan Banyubiru saat Karebre berguru pada Kyai Buyut Banyubiru mengingatkan saya pada bukunya “Aku Bersilat Aku Ada” yang mengupas soal PGB Bangau Putih asuhan Guru Gunawan Rahardja.

Cerita apalagi novel, memang selalu berangkat dari apa yang dikenal dan dialami secara mendalam oleh penulisnya. Bukan sesuatu yang di luar jangkauan dan belum pernah dia alami. Ini berbeda dengan tulisan Karl May pada bukunya “Winetou” – soal petualangan ala cowboy di belantara Amarika Serikat yang belum pernah dia kunjungi selama hidupnya

Cerita melalui novel adalah pernyataan sang penulis, berupa keresahan hatinya. Latar belakang masa lalu tak akan mungkin, dan tidak mudah dia buang begitu saja.

Salah satu keresahan yang ingin tukang ceita ungkapkan melalui novel Majapahit Milenia ini adalah tentang bagaimana kekuasan diperolah dan dipertahankan dengan penuh intrik dan tipu daya. Sejak dulu selalu begitu. Kakuasan selalu berbalut mitos, dogma agama, dan juga tak jauh dari urusan wanita. Maka tak salah jika ada ungkapan tahta, harta, wanita. Ketiganya membentuk karakter khas kuasa yang tak bisa dipisahkan. Ketiganya adalah syahwat dunia.

Pada chapter terakhir, yang ditandai tembang Gambuh, tukang cerita menulis:

Politik kekuasaan yang penuh muslihat perlu dibungkus dengan dongeng asmara agar kekuasaan tampak anggun…Karebre meniti puncak kekuasaan pun perlu ditandai oleh cerita dari alam dongeng. Kekuasaan bukan hanya memerlukan kekuatan, tapi ingatan.

Titenono…

Review buku olleh Hartono Rakiman – pengasuh Komunitas Rumah Baca

 

 

 

 

Leave a comment




Data pengunjung

  • 365,020 Kunjungan

Resensi yang lain

Index

my pictures at flickr

Goodreads