Tiga Gunung Memeluk Rembulan

Sudah lama rencana bertandang ke rumah penulis buku yang juga mantan Wartawan Kompas, Bre Redana, tersusun. Terhalang oleh kesibukan masing-masing, pagi ini (10/3/2020), akhirnya rencana ini terlunaskan.

20200310_103710

Espresso khas Thailand dan Ubi Talas khas Bogor

Masih perlu perjumpaan berikutnya, karena diskusi seru seputar buku, dongeng, silat, dan filsafat hidup tak mungkin kelar dalam hitungan jam. Berada di belakang teras pesanggrahan Mas Bre yang asri – diapit tiga gunung, Salak, Gede dan Pangrango – obrolan seru itu disokong kopi espresso khas Thailand, homemade cake dan gorengan ubi talas khas Bogor.

Buku tulisan mas Bre yang baru saja ditulis dan sudah diulas di Rumah Baca adalah “Majapahit Milenia.” Buku itu membuka obrolan seputar sejarah yang ditulis manusia. Pada budaya barat, history ditulis berbasis tulisan yang tercatat oleh tangan-tangan manusia, maupun artefak lainnya. Persoalannya, apakah itu benar-benar murni fakta, dan nir kepentingan? History selalu tergantung pada sudut pandang siapa yang menulis. Kata ganti orang ketiga His untuk Story menunjukkan ada relasi kuasa di sini. His adalah pengganti maskulinitas, alias siapa yang berkuasa. Jadi story yang disodorkan tak bebas dari kepentingan.

Pada budaya Jawa, atau bahkan flashback pada mitologi Yunani, maka narasi sejarah tersusun dalam ingatan manusia dalam bentuk dongeng. Tak harus berbasis bukti tulisan. Ini juga bentuk sejarah yang terekam dalam memori manusia sepajang mereka mau mengingat dan tak melupakannya. Siapa yang mau mengingat peristiwa pembunuhan jutaan manusia pada peristiwa pasca  G-30/S-PKI? Yang masih tersisa dalam ingatan adalah pembunuhan 7 jenderal, dan melupakan jutaan nyawa tak berdosa setelahnya.

Obrolan kemudian bergeser soal mental health atau kesehatan jiwa. Schizophrenia,  bipolar, delusi, halusinasi, menjadi perbincangan serius ketika dibedah dengan pendekatan “Mind, Body, and Spirit”  yang menjadi inti Perguruan Silat Bangau Putih, tempat Mas Bre menghabiskan sebagian waktu hidupnya di sana.

Kerja otak suatu waktu perlu digeser menjadi kerja mekanik tubuh. Tubuh tak harus selalu patuh pada otak. Karena tubuh sebenarnya punya kuasa sendiri. Ketika tubuh mampu bekerja sendiri, otak bisa istirahat. Pasrah adalah sebentuk praktik menjalani proses hidup tanpa terganggu dengan cara kerja otak yang kadang menyesatkan.

Saya terkesan dengan latihan kecil menggerakkan telapak tangan dengan poros putaran pada ibu jari, dan kemudian melakukan gerakan yang sama tapi dengan cara memindahkan pusat konsentrasi pada jari kelingking. Alhasil, telapak tangan tetap bergerak namun dengan memindahkan pusat konsentrasinya. Ini adalah latihan sederhana untuk membuka pelajaran penting tentang memindahkan beban pikiran pada fokus yang lain sembari tetap menjalani proses hidup itu sendiri. Jika persoalan datang, jangan terlalu terbebani pada persoalan itu, pindahkan saja pada hal yang lain, sembari tetap bergerak.

Latihan kecil yang lain adalah saling menarik pergelangan tangan. Ketika pikiran terbebani dengan “niat jahat” untuk menarik orang lain di depan kita maka dapat dipastikan tak akan mampu menyelesaikannya dengan baik. Ketika pikiran tentang orang lain di depan kita dihilangkan dan konsentrasi pada kekuatan mekanik otot, maka keajaiban akan terjadi. You know what I mean? Agak susah menjelaskan. Hal ini memang harus dipraktekkan dan bahkan dilatih.

Kunjungan perdana ini ditutup dengan foto bersama di depan ruang kerja Mas Bre dengan buku yang sangat menginspirasi perjalanan hidup saya, “Mind-Body-Spirit: Aku Bersilat Aku Ada.”

bre 1

Di depan ruang kerja Mas Bre dan buku “Mind Body Spirit: Aku Bersilat Aku Ada”

3 Responses to “Tiga Gunung Memeluk Rembulan”


  1. 1 mysukmana Wednesday, March 11, 2020 at 8:59 pm

    kopinya boleh juga tuh om..bisa nambah konsentrasi


Leave a comment




Data pengunjung

  • 365,023 Kunjungan

Resensi yang lain

Index

my pictures at flickr

Goodreads