jusuf.jpg Saya suka membaca, menulis, dan nonton film. Minat saya pada budaya, terutama pada dinamika psikologis seseorang yang berkaitan dengan latar belakang budayanya. Saya sebenarnya suka novel, seperti halnya saya suka pada film. Tapi mungkin karena pengaruh orangtua yang mengharamkan novel karena dianggap pemborosan waktu dan uang, buku yang saya punya lebih banyak buku teks keilmuan saya (Psikologi), buku filsafat, dan buku-buku ilmiah lain. Waktu masih mahasiswa saya suka membaca novel di perpustakaan kampus atau pinjam milik teman. Setelah bekerja, saya mulai menyisihkan waktu untuk membeli novel. Novel yang saya punya sangat sedikit karena saya sangat selektif dalam membeli. Sekali lagi, ini karena pengaruh didikan orangtua yang melarang saya membeli novel, apalagi novel yang harganya di atas Rp 20.000. Walau begitu, saya berhasil juga menabung untuk membeli ”Arus Balik” karya Pramoedya,  6 seri lengkap ”Gajah Mada” karya Langit Kresna Hariadi, ”The Ambassador” karya Henry James, dan ”Glonggong” karya Junaedi Setiyono. Saya juga punya novel action ”Semper Fi”, yang menceritakan seorang agen intelijen Marinir Amerika Serikat semasa Perang Pasifik. 

Novel yang saya suka lebih banyak novel-novel historis, seperti ”Gajah Mada”, ”Semper Fi”, ”The Jackal”, atau ”Glonggong”. Semakin detail novel tersebut mendeskripsikan situasi di masa lalu, semakin saya suka. Karena itulah saya menyukai karya Pramoedya dan Soeparto Brata yang realis. Apalagi karya Pramoedya menunjukkan versi lain sebuah sejarah yang telah dikuliti dari mitos-mitos yang membungkusnya. Contohlah bagaimana Pramoedya menunjukkan bahwa serbuah Fatahillah ke Sunda Kelapa hanyalah serbuan kecil yang dibesar-besarkan. Bahkan sangat diragukan Fatahillah berhadapan dengan kekuatan Portugis yang sebenarnya. Sebaliknya, perang di Tuban di mana rakyat Tuban mengusir kekuatan penuh Portugis yang mendarat sebagaimana termuat dalam Babad Tuban, sangat dikecil-kecilkan dan dianggap tidak ada. Atau misalnya Pramoedya menunjukkan bahwa Ken Arok adalah pemimpin perjuangan perlawanan kaum Buddhis Jawa melawan dominasi Hindu Kediri, dan bukan maling yang dengan licik mengambil alih kekuasaan sebagaimana banyak tertulis di banyak Serat dan Babad semasa Majapahit. Kemudian Soeparto Brata yang dengan romantiknya menggambarkan betapa tertata, rapi dan indahnya kota Surabaya semasa penjajahan Belanda, sangat kontras dengan Surabaya saat ini setelah 62 tahun Indonesia merdeka. Jarang sekali kita tahu penggambaran sebenarnya kota-kota Indonesia masa voor de oorlog, dan Soeparto Brata menyajikannya dengan indah. Itulah sisi menarik novel sejarah yang membuat saya jatuh hati.

Pekerjaan saya sampai saat ini (September 2007) adalah di HSP. Tapi saya menganggap pekerjaan saya yang sebenarnya adalah mengajar. Saya tetap mengajar di Fakultas Psikologi Universitas 45 Surabaya. Dulu saya mengajar penuh, kini hanya kelas malam dan kelas Sabtu, di luar jam kerja HSP. Saya benar-benar menemukan eksistensi diri saya saat saya mengajar. Berbeda dengan pekerjaan saya sekarang yang saya anggap sebagai degradasi. Penghasilan memang lebih besar, tetapi semua potensi saya tidak keluar di sini. Saya tidak lagi membuat konsep karena konsep sudah ada, tinggal mengerjakan. Saya bahkan tidak lagi melatih karena saya hanya berwenang mengorganisasikan sebuah pelatihan. Saya seperti pekerja pabrik yang membuat sebuah baut seperti yang ditulis oleh Karl Marx dalam Das Kapital. Saya tidak tahu baut itu untuk apa, dan mengapa bentuknya seperti itu. Ketika baut itu menjadi sebuah mobil, saya pun tidak merasa bahwa mobil itu adalah juga karya saya walaupun saya yang membuat baut penyusun mobil itu.  

Tapi itulah kehidupan. Kita tidak pernah mendapatkan apa yang kita inginkan, karena kita hidup bukan untuk bersenang-senang. Ada misi yang harus kita laksanakan dalam hidup kita, sebuah misi yang harus kita temukan sendiri apa. Apakah itu, hanya kita dan Allah yang tahu. Kepuasan yang kita dapat bukan dari kesenangan melakukan apa yang ingin kita lakukan tapi menyelesaikan misi yang dibebankan kepada kita. Kalau kita ingin hidup bersenang-senang, bukan di bumi ini tempatnya. Nanti kalau kita sudah mati, barulah kita mendapatkan semua yang kita senangi. Itu pun kalau kita masuk surga.

4 Responses to “Jusuf Agung”


  1. 1 winaldo Wednesday, November 28, 2007 at 4:44 pm

    mau nanya nih, klo mau baca tentang babad tuban dimana ya?

  2. 2 agus Monday, September 15, 2008 at 9:28 pm

    sebelumnya maaf..aku cuma mau cari eebook karya pramoedya nech…klo mo download gratisan tau nggak dimana?

  3. 3 bodde Wednesday, December 16, 2009 at 12:54 pm

    hari gini gratisan… kecian donk penciptanya dibajak terus oleh orang-orang kita, kasihlah penghargaan sedikit supaya mereka (penulis) itu semakin semangat berkreasi….

    http://budinie.vox.com/library/post/tips-buku-supaya-awet.html

  4. 4 ariyuli Sunday, November 28, 2010 at 12:09 pm

    salut untuk semangatnya…!


Leave a comment




Data pengunjung

  • 365,022 Kunjungan

Resensi yang lain

Index

my pictures at flickr

Goodreads