Satu lagi sahabat peneliti dari Solo, bergabung bersama “Rumah Baca.

Nama: Heri Priyatmoko, Peneliti Kabut Institut, Solo.

Yang ingin berkenalan lebih lanjut, ini ada no hp-nya: 0815 7897 5952

8 Responses to “Heri Priyatmoko”


  1. 1 silvy moe.. Thursday, July 24, 2008 at 6:55 pm

    wouw cakep…
    Produktif terus ya mas…

  2. 2 mashar Saturday, August 16, 2008 at 7:58 pm

    Kalau yang ini, sepertinya lebih cakep dengan foto barunya, mirip Sharuk Khan! He…he..

  3. 3 Fendi Tuesday, August 19, 2008 at 11:40 am

    Heri, piye kabare?
    katanya kamu lolos seleksi ikut Pelatihan Nulis Opini Kompas ya.
    Sukses yo, semangat.

  4. 4 ahong Thursday, October 16, 2008 at 10:03 am

    pak heri teh suka nulis apa ya?tolong dong ajari nulis;saran-saranny???

  5. 5 heri priyatmoko Monday, October 27, 2008 at 12:49 pm

    Ahong yang baik, sory telat jawab pertanyaan bung.

    Saya bukan penulis hebat, cuma mempunyai kegemaran menulis saja. Sumpeh, Heri tidak punya mantra atau jurus tuk jadi penulis andal. Di sini akan berbagi pengalaman..
    Saya begitu demen akhir2 ni nulis sejarah. Namun awalnya tiada hati focus ke sejarah sih. Belajar nulis dimulai tiga tahun silam. Awalnya hanya nulis untuk dikonsumsi diri sendiri, tanpa niat publikasi. Paling pol disebarin ke teman sebangku ketika masih dini duduk di kuliah [bukan makalah]. Malu mo ngirim ke media, g pede gitu. Sembari ngomentarin persoalan yang baru actual, saya biasakan nulis di buku catatan. Apa yang ditulis? Menulis apapun.
    Misal, jadwal yang pingin saya lakuin hari ini, ngomentari dosen yang enak dan g enak manakala mengajar, curhat isi hati mengenai temen, hingga soal cewek. Intinya, yang ada dibenak, heri ungkapin. Di rumah pun, akhirnya buku harian numpuk, eman-eman mo buang. Sebab, ini bisa untuk mengingat apa yang telah kita perbuat. “Dokumen penting”, bahasa kerennya. he3 [jangan dikira niru Soe Hok Gie lho]
    Waktu kian merayab, usia pun bertambah, saya terus berproses. Lambat laun jemari lancar menari di atas kertas atau keybord. Merangkai kata, kalimat demi kalimat, paragraf per paragrap. Eh, tapi saya juga rutin menabung kosakata. Tak hanya nabung duit saja, untuk bekal nikah [he3 becanda]. Nabung amat penting. Karena kalau kita miskin kosakata, tulisan bakal kering, berani sumpah.
    Coba ingat2 Ahong ketika SD ya. Sehabis masa liburan, u pernah diberi tugas oleh guru untuk mengarang bebas. Menuliskan aktivitas selama liburan. Disuruh bercerita, kita girang dan elok melukiskan kegiatan itu. Tapi, manakala disuruh menuliskannya, malah puyeng tujuh keliling. Kalaupun tulisan sudah jadi, belepotan tidak asyik dibaca. Karena tidak kaya kata dan banyak pengulangan kata tentunya.
    Contoh, ”Selama liburan sekolah saya tinggal di rumah nenek. Bersama ibu, bersama bapak, bersama adik. Di sana saya jalan-jalan ke sawah. Di sana banyak kerabat. Saya senang sekali. Saya memancing di sungai”. Jika mencermati kalimat di atas, maka yang kita temukan yaitu, kata “bersama” diulang tiga kali. Kata “di sana”, dua kali diulang, dan kalimat kering tanpa kata sambung. Ini cermin betapa miskinnya perbendaharaan kosakata penulis.
    Saya ke mana-mana selalu nenteng buku harian untuk ”menabung”. Orang sedikit heran melihatnya, namun apa urusan mereka, toh itu bermanfaat bagi saya.
    Sebagai penulis pemula, saya punya idola. Tentunya bukan Superman atau Spiderman, please deh. Idolanya juga seorang penulis. Menurut saya, tulisan yang energik dan bagus serta kaya data adalah tulisan Aswi Warman Adam, (alm) Kuntowijoyo & JJ Rizal (mereka sejarawan semua, karena saya duduk di jurusan sejarah). Tulisan mereka saya kliping n baca2 di kala longgar.
    Saya beranjak menulis di koran. Lapangan berlatih saya di kolom2 ringan. Saya lahap rubrik mahasiswa di koran local, dengan tema apapun. Semua itu untuk mengasah berpikir luas, baik soal ekonomi, politik, social n budaya. Pemahaman kita biar jembar dulu gitu. Nah, kemudian saya mulai doyan nulis sejarah ampe ini hari.
    Oke cukup dulu ya, mata saya sudah pedas natap monitor. Inget, orang mati yang kenang bukan nama, tapi karya. Selamat berkarya deh.

    Salam
    Heri Priyatmoko
    Solo, 26 Oktober 2008

  6. 6 heri priyatmoko Sunday, November 2, 2008 at 2:07 pm

    Manusia tidak bisa menghindar dari amnesia sejarah, lupa akan masa lalunya. Terpaan masalah demi masalah itulah salah satu penyebabnya. Sementara persoalan kemarin belum kelar, ditumpuk persoalan baru.
    Sejarah mengajarkan kita untuk belajar agar tidak terjebak ke kubangan yang kedua kalinya.
    Kepala kita tidak muat menghafal sejarah, karena sejarah bukan dihafal, melainkan ditulis.
    Menulislah…
    Soe Hok Gie, Kartini, Pram, semua dikenang di hati sanubari pembaca karena menulis, berkarya.
    Tidak harus buku yang ditulis, catatan pribadi tentang diri kita cukup baik jika kita bisa menulisnya.
    Faedahnya, suatu ketika anak-cucu kita atau orang lain hendak merekontruksi sejarah masa lalu kita, tak bakal kesulitan. kalau kita hanya mengandalkan foto keluarga, batu nisan dan kisah cerita, itu semua tak banyak membantu.
    Selamat menulis.

  7. 7 aris Saturday, February 14, 2009 at 11:11 am

    wah, slamet lagi, Her.
    Udah lega lulus ujian, dan 2 riset DIKTI 2009 tembus.
    kamu nunggu wisuda sembari riset dung.
    sukses ya.


  1. 1 Laskar Pelangi: The Phenomenon « RUMAH BACA Trackback on Friday, October 17, 2008 at 10:49 am

Leave a comment




Data pengunjung

  • 365,025 Kunjungan

Resensi yang lain

Index

my pictures at flickr

Goodreads