Koran Jakarta

Tentang Sebuah Dilema

Sebagian manusia kerap menyembunyikan dilema dalam dirinya. Sebagian lainnya berani mengungkapkannya kepada khalayak. Sejumlah seniman, salah satunya Khadir Supartini dari Yogyakarta, berani mengutarakan dilema itu.

Seonggok patung perempuan dengan tubuh terbalut kain tembus pandang berdiri tegar di lantai dua ruang pameran. Tangannya terlipat ke belakang sambil memegang sekuntum bunga mawar. Kepalanya terbungkus payung hitam. Khadir Supartini, sang pematung itu, memberi judul karyanya “Peluk Jiwaku”. Menurut Khadir, dia banyak terinspirasi dari sosok ibunya dalam berkarya. Dengan kacamata atau sudut pandangnya sebagai seorang anak, dia menumpahkan dilema dan kekagumannya pada sosok ibunya lewat patung tersebut.

Di seberang patung tersebut, di kanvas yang berukuran lebih-kurang 145 cm x 110 cm, tampak baju tidur (gaun) berwarna hitam pekat tergantung pada hanger berwarna merah darah. Hanger itu tergambar di lukisan, sedangkan gaun cuma direkatkan ke kanvas. Jika dilihat dari jauh, antara hanger dan gaun merupakan satu kesatuan dalam lukisan. Lukisan unik itu juga merupakan karya Khadir yang diberi judul “Hanging”.

Pada lantai dasar ruang pamer, para penikmat seni rupa juga disajikan sebuah patung dan lukisan perempuan dengan tubuh terbalut gaun berwarna ungu (patung), sedangkan lukisan perempuan tersebut mengenakan gaun berwarna hitam. Tangan kanannya memegang payung kecil, sementara tangan kirinya menggenggam pisau. Lukisan dan patung karya Khadir itu diberi judul “A Perfect Mother”.

Sepertinya seniman keturunan Arab ini ingin menyampaikan dilemanya terhadap keseharian hidup yang dia alami, baik sebagai seorang seniman maupun sebagai seorang anak dan manusia pada umumnya. Ditambah lagi, sejak kecil Khadir belum pernah bertemu dan mengenal langsung sosok ayah, apalagi merasakan langsung kasih sayang sang ayah.

Dia hanya mengenal beliau lewat pakaian peninggalan ayahnya serta cerita dari ibunya. Ditambah lagi kekaguman dan rasa hormatnya yang sangat tinggi pada sosok ibu sedikit banyak memberi pengaruh dalam berkarya dan banyak memberikan inspirasi besar.

Selain Khadir yang mengalami dilema, Hartono, Haris Juhaeri, Haning Pamungkas, Widyowati, Iis Nurhayati, dan Prihandika Jodi mengalami dilema yang sangat berarti dalam kehidupan dan dalam perjalanan karier mereka sebagai seniman. Mereka adalah seorang pelayar dan istri dari atau bagian penting dari kehidupan seorang petualang yang sedikit banyak mengalami dilema yang sama seperti yang dirasakan oleh Khadir. Selanjutnya, dilema-dilema dan pengalaman tersebut dituangkan dalam 184 halaman buku yang diberi judul Dilema.

Dalam buku tersebut, setiap seniman mengisahkan pengalamannya dalam menjalani pekerjaannya dan pengalaman sebagai istri yang setia menunggu kepulangan suaminya dengan rasa dilema dan cemas yang menumpuk. Pada bagian pertama dari buku ini, para penulis menyampaikan soal “Dilema Pekerja Muslim di Kapal Pesiar”.

Dalam menjalani pekerjaannya, mereka kadang mesti mengerjakan hal yang bertentangan dengan agama yang dianut, seperti menghidangkan makanan yang berbahan dasar babi atau minuman beralkohol, serta persoalan lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung terpaksa harus mereka kerjakan.

Dilema-dilema tersebut memaksa mereka segera memberikan pilihan atas sebuah keputusan yang harus digenapkan dalam kerja-kerja konkret. Di satu sisi, mereka berhadapan dengan ajaran agama, tapi di sisi lain, hal tersebut merupakan tuntutan dan konsekuensi atas pekerjaan.

Dilema-dilema yang dialami para penulis buku dan perupa tersebut dapat disimak dalam perhelatan pameran dan peluncuran buku bertajuk Dilema. Kegiatan tersebut berlangsung di Rumah Seni Arjuna, sebuah ruang pamer seni rupa pribadi milik pencinta seni rupa Dr Melani Setiawan di Jakarta Barat. Acara itu berlangsung mulai 28 Oktober hingga 4 November 2012.

Dilema dan Kagum
“Awalnya saya tidak mau berpameran karena karya saya banyak mengangkat persoalan keluarga. Dengan saya berpameran, akan menampilkan kondisi atau aib dari keluarga saya,” kata Khadir.

Dalam berkarya, seniman lulusan Seni Patung SMSR, Yogya, ini kerap menghadirkan pisau, payung, dan benda-benda lainnya. “Pisau perlambang ketajaman. Meski tajam, pisau itu tetap suci. Sedangkan payung sebagai pengayom. Sebagai seorang ibu, selain harus tegar, dia harus bisa mengayomi keluarga dan anak. Itulah salah satu musabab kenapa saya kagum pada ibu dan banyak terinspirasi dari beliau,”ungkap dia.

Hartono Rakiman menyampaikan bahwa di kapal pesiar, 50 persen pekerjanya Indonesia dan muslim. “Di kapal pesiar, kami menghadapi dilema surga dan neraka. Saya bukan ahli agama, tapi saya merasakan dilema. Saya muslim, tapi kadang harus menyuguhkan dan memasak babi. Ini menjadi bahan perdebatan dalam bekerja,” kata Hartono.

Jika dilihat dari sudut pandang konsep yang berangkat dari pengalaman hidup, pekerjaan, karya, dan terutama dilema yang dialami penulis dan perupa, itu merupakan hal yang lumrah. Dalam bidang apa pun, selalu muncul dilema karena itulah hakikat hidup yang tak perlu disembunyikan. frans ekodhanto

Link >> KORAN JAKARTA

0 Responses to “Rumah Baca – Koran Jakarta”



  1. Leave a Comment

Leave a comment




Data pengunjung

  • 365,024 Kunjungan

Resensi yang lain

Index

my pictures at flickr

Goodreads