Lebih Putih Dariku

Sejak dilahirkan, perempuan malang itu bernama Piranti. Setelah menjadi Nyai, Piranti biasa dipanggil Isah oleh tuan Belandanya, Adrian Rudolph Willem van Pittius alias Gey.

Pada masa pendudukan Belanda awal abad 19, nasib perempuan yang disebut Nyai memang tak lebih sekededar piranti, perkakas, atau orang Belanda menyebut mereka sebagai meubel atau inventarisstuk. Ibaratnya, siang jadi batur malam jadi kasur. Siang menjadi babu, malam menjadi pelampiasan nafsu di atas ranjang tanpa ikatan sah perkawinan. Setelah punya anak sekalipun sang ibu yang melahirkan anak-anak Indo-belanda tak dianggap di mata hukum Belanda, tersingkir dan tetap dianggap pribumi.

Novel “Lebih Putih Dariku” (Marjin Kiri: 2022) memotret sisi kelam kehidupan sosok Nyai yang digambarkan dalam diri Isah. Novel ini ditulis oleh seorang jurnalis dan penulis Belanda, Dido Michielsen. Diterjemahkan secara apik oleh Martha Dwi Susilowati, atas bantuan dana penerjemahan dari Dutch Foundation for Literature/ Nederlands Letterenfonds (NLF). Novel ini mendapat penghargaan sebagai pemenang Boekhandelprijs 2020.

Novel diitulis sebagai kisah yang dituturkan ulang oleh Isah kepada Canting, sebagai sesama Nyai. Bedanya Canting lebih beruntung, karena menikah dengan lelaki Indo-Belanda yang justru mendorong Canting untuk menuliskan kisah hidup Isah, agar menjadi catatan penting untuk Pauline dan Lousia,  kedua anak perempuan yang dia asuh dan awasi tanpa tahu bahwa orang yang setiap hari dia panggil “babu” tak lain adalah ibunya sendiri. Novel ini juga menjadi warisan kepada orang lain, agar mampu melihat keberadaan Nyai bukan sekedar angka statistik, namun ikut serta merasakan kepedihan yang mendalam sebagai Nyai, kelompok rentan yang hidup pada masa kolonial Belanda dulu.

Sepanjang perjalanan hidupnya, Isah merelakan dirinya menjadi piranti, alat dari kesombongan manusia lain yang merasa memiliki ras lebih unggul, Belanda totok, atau bahkan Indo-Belanda sekalipun. Isah  merelakan dirinya dibuang oleh tuan Belandanya, dipisahkan dengan kedua anaknya, hingga hilang kontak, dan mendekati usia enam puluhan lebih, Isah mengaku kalah dan menyerah mencari-cari anaknya sendiri.

Air mata saya ikut pecah membaca kisah Isah, terutama pada bagian penutup. Seolah Isah tak punya pilihan hidup. Meskipun kata bijak sering mengatakan hidup adalah pilihan. Tapi bagaimana bisa memilih ketika pilihan itu tak memberi ruang untuk memilih. Pilihan hidup untuk lari dari kawin paksa pada adat Jawa, justru membuat Isah terjebak masuk pada dunia gelap kolonialisme yang tak pernah dia sadari sebelumnya. Ibaratnya, keluar dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya.

Isah adalah potret kekalahan kaum rentan, yang tak kuasa menembus kebebasan untuk mendapatkan relasi kuasa yang setara. Pada kepungan adat Jawa yang feodal, atau bahkan pada budaya Eropa yang pada beberapa sisi sangat rasis.

Cerita kelam masa kolonial Belanda dengan sudut pandang Nyai sering ditulis oleh beberapa penulis lain, tak kurang Pramoedya Ananta Toer mengisahkannya pada roman legendaris “Bumi Manusia” dengan tokoh Nyai Ontosoroh. Bedanya, Pram menyematkan hawa perlawanana pada diri Nyai Ontosoroh.

Pada perkembangannya, istilah Nyai kini mendapat arti yang sangat positif, terutama kalau kita biasa bersinggungan dengan dunia pesantren tradisional yang tersebar di Nusantara. Nyai adalah sebutan ibu bagi ribuan santriwan dan satriwati yang mondok di pesantren. Dan ribuan anak asuhnya itu akan takzim mencium punggung tangan ibu Nyai pada berbagai kesempatan.

Sungguh berbeda dengan nasib Isah yang hingga akhir hayatnya tak sempat mendapat ciuman tangan dari kedua anaknya. Mereka mungkin tidak tahu, karena kedua anaknya punya kulit lebih putih dari Isah, dan tak pernah menyangka bahwa perempuan berkulit sawo matang itu, yang selama ini mereka anggap babu adalah ibu yang melahirkan mereka ke dunia.

Review novel ditulis oleh Hartono Rakiman, pengasuh Rumah Baca

Surapati

Cover roman sejarah Surapati, karya Abdoel Moeis (Balai Pustaka: 2010)

Pada jaman masih SD dulu, ketika gadget belum merajalela seperti saat ini, hiburan paling mengasyikan adalah mendengarkan sandiwara radio. Sandiwara radio yang paling saya gemari adalah cerita berlatar sejarah, mulai dari Api di Bukit Menorah, Nogo Sosro Sabuk Inten, hingga Untung Surapati. Ketika mendengar cerita sandiwara radio lewat sensor audio, theatre of mind di kepala bekerja sangat kreatif. Imajinasi liar bermain di kepala. Tentang tokoh, peristiwa dan situasi yang terbangun.

Ketika membaca cerita berlatar sejerah lewat medium buku, kilatan ingatan sandiwara radio jaman dulu terpantik keluar. Roman sejarah berjudul “Surapati” karya Abdoel Moes (Balai Pustaka: 2010) mengingatkan cerita yang pernah terdengar lewat radio. Muncul nama-nama tokoh, seperti Untung, Suzane, Wirayuda, Ki Ebun, Wulu Kudur, Raden Gusik, Kapten Tack, dan Robert.

Ini adalah roman sejarah yang ditulis oleh Abdoel Moes dengan latar sejarah pada masa 1680 – 1700 an, ketika Belanda mulai menancapkan kuku-kuku kolonialismenya di Nusantara, di tengah-tengah situasi kerajaan-kerajaan Nusantara yang dilanda konflik kepentingan. Di sinilah Belanda yang berotak dagang memainkan situasi untuk mencari untung sebanyak-banyaknya dengan politik adu domba. Celakanya, para raja dan keluarga raja pribumi haus kekuasaan. Perebutan tahta selalu mendapat sokongan dari kompeni. Kompeni akan selalu mendukung selama hal itu mendatangkan keuntungan, dengan kontrak politik yang selalu merugikan kerajaan dan rakyat kebanyakan.

Roman ini sarat dengan pergulatan konflik pada tokoh-tokohnya, terutama pada tokoh utama yaitu Untung. Berawal  dari seorang budak asal Bali yang yang berada di Makasar, kemudian dibeli dan dibawa ke Jakarta. Di sana Untung dijadikan teman bermain Suzane anak Edeleer Moor. Celakanya, Untung yang berstatus budak menjalin kasih dengan Suzane hingga menikah dan hamil. Peristiwa ini menimbulkan murka Edeleer Moor, hingga keduanya dipisahkan.

Inilah awal konflik, yang membawa Untung pada pergolakan batin seorang budak yang ingin merdeka sekaligus berontak untuk tidak tunduk dihina dina bangsa Belanda. Bersama Ki Ebun dan Wirayuda, Untung melakukan gerilya pemberontakan hingga membawanya berjumpa dengan Raden Gusik yang revolusioner dan sangat anti Belanda. Untung dan Raden Gusik kemudian menikah dan di tengah gejolak perang batin keduanya. Untung masih memikirkan Suzane dan anak yang telah dikandungnya, sedangkan Raden Gusik memilih pisah dari Pangeran Purbaya yang memilih menyerah kepada Belanda.

Latarbelakang Untung yang berasal dari Bali seolah dipakai untuk membangun semangat pemberontakan. Dalam tradisi Bali, hal ini disebut perang puputan. Perang hingga titik darah penghabisan. Secara kultur, Bali memang sulit ditaklukkan oleh bangsa colonial pada jaman dulu. Beda dengan Jawa yang mudah diadu domba dengan iming-iming kekuasaan yang tergadai.

Melalui roman Surapati,  Abdoel Moeis ingin menyampaikan pesan tentang jati diri bangsa yang seharusnya tidak tunduk pada bangsa asing. Untung, Ki Ebun, Wirayuda dan Raden Gusik adalah tokoh yang dihidupkan oleh Abdoel Moeis untuk mewakili suara pemberontakan dan merdeka dari pengaruh asing.

Roman Surapati ini melengkapi epik buku sejarah “Nusantara” karya Bernard H.M. Vlekke, yang mencoba menguak sejarah Nusantara era pra-kolonial hingga pra kemerdekaan. Pada edisi review buku berikutnya, kita coba bahas buku sejarah ini.

Review roman sejarah oleh Hartono, pengasuh Rumah Baca

Dongeng Gayatri

Review novel “Dia Gayatri” (Tanda Baca: 2020) akan saya ulas melalui cerita, begini:

Di tengah-tengah kesibukan saya berkebun di lahan belakang rumah saya di Tawangmangu, lereng Gunung Lawu, tiba-tiba saya mendapat pesan singkat dari Mas Bre, apakah saya bersedia mengisi acara launching novelnya “Dia Gayatri.” Saya merasa mendapat kehormatan sekaligus tantangan demi membaca SMS itu. Pesannya singkat: bagaimana mas Hartono hendak menampilkan presentasinya  terserah saja! Formatnya adalah performance, bersama Happy Salma dan Joss Wibisono!

Publik sudah tahu,  mereka semua adalah budayawan dan seniman. Lha, saya ini kan hanya seorang pembaca buku dan pegiat literasi kapiran di Rumah Baca! Bagaimana caranya?

Maka saya kemudian berfikir keras untuk segera menemukan wangsit soal bagaimana memanaskan diskusi buku dengan format performance. Sebagai seorang pembaca buku sekaligus fasilitator pelatihan, saya terbiasa menggunakan alat bantu saat melakukan fasilitasi. Wangsit kilat yang terbersit di kepala adalah wayang kardus! Ya, wayang dari bahan kardus.

Jadilah wayang kardus akan saya jadikan alat bantu ketika menjelaskan pesan yang akan saya sampaikan secara verbal. Lalu, siapa yang akan bikin wayang kardus. Kan, saya bukan seniman? Alhasil, saya mendapat pertolongan dari Imantopo Dipo Suksma, seorang mahasiswa ISI Jogja, yang tak lain dan tak bukan adalah anak ragil saya sendiri! Kemudian saya menggunakan pesan serupa dari Mas Bre Redana untuk anak saya: terserah kamu mau gambarkan seperti apa wayang kardusmu. Yang penting, bapak ingin menjelaskan tentang buku-buku, komodifikasi, perempuan, musik, tukang cerita, Gayatri Rajapatni, dan Sabdo Palon!

Wayang Kardus karya Imantopo Dipo Suksma

Pada tanggal 27 November 2020, pukul 15.00-17.00 acara zoomlaunching kemudian berjalan meriah, dipandu oleh Sarie Febriane dari Kompas, dihadiri kurang lebih 50 undangan terbatas yang sebagian besar berasal dari kalangan seniman dan budayawan. Diantaranya ada Tanto Mendut, Prof. Hendrawan Supraktikno, Pak Dar, dll.

Acara kemudian dibuka dengan tembang Jawa yang berasal dari Kitab Wulangreh oleh Joss Wibisono langsung dari Amsterdam. Joss Wibisono tampil lengkap dengan blangkon dan beskap. Tampak perbowo dan njawani. Selesai nembang, langsung disambar dengan monolog Gayatri oleh Happy Salma.

Tampil anggun dan sederhana, Happy Salma membacakan nukilan monolog Gayatri Rajapatni dari novel “Dia Gayatri,” ditingkah suara anjing di kejauhan. Maklum Happy Salma membacakan monolog itu dari sebuah kamar di Pulau Bali.

Happy Salma dengan monolog Gayatri

Giliran saya mewakili pembaca buku menyampaikan pendapat sekaligus memanaskan diskusi soal novel yang baru tayang ini. Saya mengawali kesaksian tentang perjumpaan saya dengan Mas Bre Redana melalui tulisan-tulisannya pada kolom budaya di Harian Kompas dan buku-bukunya: Rex, Urban Sensation, Blues Merbabu, 65, Mind-Body-Spirit: Aku Bersilat Maka Aku Ada.

Dengan medium wayang kardus saya mulai menjelaskan bahwa hampir semua tulisan dan buku-buku Mas Bre Redana memiliki benang merah, yaitu tentang budaya pop, komodifikasi, konsumerisme, aroma wangi perempuan, dan lagu-lagu tahun 60/70 an. Selain itu, saya juga menemukan filosofi hidup tentang konsistensi dan fokus, serta soal mencari dan menemukan. Sering terjadi kita berambisi untuk mencari, tapi seringkali tak menemukan yang kita cari. Sebaliknya, yang tidak kita cari justru kita temukan. Itulah hadiah dari kepasrahan total.

Hartono Rakiman, kesaksian pembaca novel “Dia Gayatri”

Pada diskusi soal novel “Dia Gayatri” saya mengajak seluruh peserta diskusi untuk meninjau novel sebelumnya, yang saya sebut sekuel tentang Majapahit, yaitu “Majapahit Milenia” (KPG: 2019). Pada novel “Majapahit Milenia” menceritakan soal kejatuhan kerajaan Majapahit dan digantikan kerajaan Mataram Islam. Sebaliknya, “Dia Gayatri” mengawali kemunculan Majapahit berkat peran besar Gayatri di belakang layar. Tokoh utama pada novel “Majapahit Milenia” adalah Karebre, sedangkan pada “Dia Gayatri” adalah Karani.

Saya tergelitik dengan penamaan tokoh Karebre, yang setahu saya selama ini bernama Karebet atau biasa dipanggil Mas Karebet. Tapi oleh Mas Bre Redana diubah menjadi Karebre. Barangkali ingin menegaskan bahwa Karebre masih punya darah Majapahit yang mengalir dalam tubuhnya, serupa dengan nama pena yang melekat pada dirinya: Bre Redana! Selain itu, secara  persamaan bunyi atau rima, nama tokoh pada kedua novel, yaitu Karebre dan Karani terdengar sama.

Perbandingan kedua novel sama-sama menceritakan soal politik kekuasaan. Bedanya novel “Majapahit Milenia” lebih mengedepankan politik kekuasaan dibalut dengan dongeng asmara. Sedangkan “Dia Gayatri” lebih menonjokan pentingnya menghargai perbedaan atau keberagaman.

Novel pertama, menurut saya lebih maskulin dengan menyitir sejarah Majapahit sebagai His-Story (sejarah-nya dengan kata ganti laki-laki atau orang yang sedang berkuasa). Sedangkan novel kedua, menurut saya lebih feminine, dengan tokoh Gayatri dan Karani sebagai Her-Story.

Terlepas dari perbedaan keduanya, terdapat benang merah yang menghubungkan keduanya. Hal penting yang ingin disampaikan oleh Mas Bre Redana melalui novelnya adalah soal reinkarnasi. Pada pemahaman anak sekarang, reinkarnasi mudah dipahami sebagai fenomena time traveler. Karani yang “kalenggahan” eyang Gayatri Rajapatni dan tukang cerita yang “kalenggahan” roh Banca-Naya ketika tetirah di sebuah candi lereng Gunug Lawu pada Kamis Kliwon malam Jumat Legi. Tapi menurut saya tukang cerita – yang tak lain adalah Mas Bre Redana sendiri – sudah “kalenggahan” roh Banca-Naya atau Sabdo Palon Noyo Genggog sejak dilahirkan.  Karena nama asli Mas Bre Redana adalah Don Sabdono!

Benang merah yang lain adalah soal pergulatan fakta dan fiksi, atau antara realitas dan dongeng. Bagi Mas Bre, fakta tak sepenuhnya dapat dipahami sebagai satu-satunya fakta. Karena pasti di sana ada unsur kepentingan, terutama yang sedang berkuasa. Maka dongeng atau fiksi sekalipun adalah bagian dari realitas itu sendiri. Karena suka tidak suka, kehidupan kita dibentuk oleh dongeng. Ada dongeng dewa-dewi Yunani, Mahabarata, Ramayana, Sangkuriang, Cerita Panji Inu Kertapati dan Candrakirana, dll – termasuk kisah-kisah pada kitab suci yang kita Imani selama ini.

Dari pergulatan fakta dan fiksi inilah, Mas Bre kemudian mengangkat dirinya sebagai tukang cerita, setelah selama 30 tahun menjadi tukang berita. Inilah babak kebebasan dirinya semasa pensiun sebagai jurnalis pada Harian Kompas, untuk kemudian bebas mendongeng apa saja, sebagai cara menyampaikan gagasan.

Sebagai penutup cerita saya soal review novel “Dia Gayatri” saya ingin mengatakan bahwa kedua novel ini seolah ingin menggenapi sumpah Banca-Naya 500 tahun yang lalu untuk menitis kembali pada masa mendatang. Sekaligus menagih janji bahwa tanah Jawa akan kembali makmur manakala kembali ke budi  atau budaya. Titenono!

Review novel oleh Hartono Rakiman, pengasuh Rumah Baca

Saatnya Menonton Buku

Buku yang semula menjadi sumber pengetahuan mulai era 2000-an harus rela bersaing dengan visualisasi digital.

Orang tak lagi suka membaca buku. Alih-alih membenamkan wajah pada buku, kini bergeser kepada menonton buku.

Jalan pintas ini tak bisa dihentikan.

Rumah Baca melihat, fenomena menonton buku tak bisa dihindarkan. Maka sejak awal pandemic Covid-19 ini, Rumah Baca berbenah dengan mencoba bertransfoormasi melalui visualisasi review buku di Rumah Baca dalam format video.

Inilah dua diantaranya yang sudah on air. Review buku-buku berikuktnya menyusul:

 

 

Enjoy.

Jangan lupa subscribe untuk mendapatkan seri review buku-buku bergizi berikutnya.

Salam,

Hartono Rakiman

 

Zaman Peralihan

Soe_Hok_Gie___Zaman_Peralihan“Zaman Peralihan” merupakan kumpulan  karya Soe Hok Gie yang dia tulis, dibukukan dan diterbitkan Bentang, 1995. Buku ini terbagi dalam tiga bagian, yaitu masalah kebangsaan, masalah kemanusiaan, catatan turis terpelajar.

Bagian pertama: Masalah kebangsaan

Bagian ini merekam catatan mengenai demostrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa pada tahun 65, menuntut Soekarno untuk mempertanggungjawabkan pemerintahannya yang korup dan kebijakan Nasakom (nasionalis komunis). Di sisi lain, Soe Hok Gie juga menggugat internal kampus, dimana  mahasiswa menjadikan organisasi kemahasiswaan sebagai kendaraan politik, yaitu organisasi berdasarkan agama ataupun pandangan politik. Pasca tergulingnya Soekarno, beberapa mahasiswa ditunjuk sebagai perwakilan di DPR-GR. Soe Hok Gie kecewa dengan mereka yang menjadi pelacur intelektual. Dahulu mereka berjuang bersama di jalan,  namun setelah masuk kepemerintahan malah ikut andil dalam pemborosan uang negara, seperti menerima bantuan kredit mobil. Sebagai bentuk kekecawaannya, saat natal dan lebaran Gie mengirimkan hadiah kepada para mahasiswanya  berupa bedak dan gincu. Ini sungguh sarkasme yang menohok.

Pada bagian pertama ini, juga diceritakan tentang pendakian Gie dan kawan-kawan ke gunung Slamet Jawa tengah, dimana Gie mencoba “lari” dari hinggar binggar ibukota dan kegelisahannya tentang situasi social dan politik Indonesia.

Bagian ke 2 dan 3: Masalah kemanusiaan

Gie memang dikenal peduli akan ketidakadilan semenjak remaja. D ibagian ini Gie menyoroti korban kekerasan pasca 65/G30S/PKI yang jumlahnya ribuan. Siapapun yang dituduh PKI bisa saja dengan mudah dipenjara atau bahkan dibunuh tanpa ada peradilan. Mundur ke era Soekarno, banyak pula kriminal-kriminal kelas teri yang dipenjara sangat lama tanpa proses peradilan, tanpa tahu berapa lama dia dipenjara. Tak sedikit napi yang meninggal di dalam sel penjara.

Menurut buku ini pula, Palau Bali memiliki rakyat yang pro Soekarno karena nilai historisnya, yaitu ibu dari Soekarno berasal dari Bali. Pasca 65, pembantaian manusia terjadi di sana, didalangi oleh elit PKI/pro Soekarno, sebenarnya ingin cari selamat. Tak pandang bulu, petani buruh yang diduga terlibat PKI dipenjarakan atau dibunuh. Taktik politik PKI yang digunakan kala itu adalah dengan memberi bantuan berupa bibit atau pupuk yang “menjebak” petani kecil untuk masuk ke organisasi sayap PKI. Buruh pun juga diintimidasi bila tidak ikut organisasi buruh sayap PKI. Dari situ mulai muncul saling fitnah, pengusahaan menunjuk si A PKI karena si A adalah pesaing bisnis, begitupun dendam lainnya. Bagian yang paling epik dibagian ini adalah disaat Gie  berjalan pulang bertemu dengan seorang yang mengambil kulit mangga dari tong sampah dan memakannya Gie dengan cepat menarik kulit mangga dari orang itu lalu memberikan uang kepada orang tersebut.

Bagian ke 3: Catatan turis terpelajar

Bagian akhir buku ini menceritakan ketika Gie mendapatkan kesempatan pergi ke Amerika yang diberikan oleh Kedubes Amerika di Jakarta. Setelah mengatur jadwal, Gie mengurus surat-surat untuk bisa pergi keluar negeri. Gie mengikuti prosedur yang ada, namun ia terkendala oleh surat pernyataan kewarganegaraan. Gie adalah keturunan Tionghoa, yang saat itu pemerintah masih meragukan kesetian warga etnis Tionghoa atas negara Indonesia. Gie juga terkendala dengan surat “tidak terlibat PKI”. Gie  sudah menjelaskan bahwa dia adalah dosen UI (PNS). Tetapi prosedur yang dilakui tetap berbelit-belit.  “Orang-orang diperas untuk mendapatkan surat tersebut (surat tidak terlibat PKI), datang ke Koramil hanya ditanya Pancasila, apakah seorang komunis tidak hafal Pancasila, lalu mereka dipaksa membeli gambar Pancasila. Ya, ujung-ujungnya uang!”

Gie mengkritisi birokrasi pada saat itu. Lelah dengan itu Gie ambil jalan pintas dengan mendapatkan ijin, surat sakti dari Pemred tempat dia bekerja. Dengan bekal surat sebagai wartawan semua ijin selesai dengan cepat.

Di Amerika Gie banyak mendapatkan pengalaman berharga, diskusi dengan mahasiswa lintas benua, memahami gerakan Afro-Amerika disana, bertemu dengan kelompok happies, dan melihat permasalahan Amerika sebagai negara adidaya.

Secara keseluruhan buku ini menurut saya merupakan kritik terhadap sikap masyarakat intelektual yang hanya bermain “aman”, tak memiliki daya kritis yang tajam terhadap pemerintah, terutama mahasiswa yang digadang sebagai penerus bangsa. Mereka yang memiliki kesempatan luas untuk mengembangkan diri dan mengabdikan diri ke masyarakat. Kegelisahan Gie ini masih terjadi sampai sekarang. Pesan yang saya tangkap adalah kita pemuda khususnya bisa menyuarakan pendapat kita dimuka umum, mengkritisi kebijakan pemerintah namun harus diimbangi dengan mengambil peran dalam memajukan bangsa.

10 April 2020, Bakar Japet, seorang Kuli panggul buku


Data pengunjung

  • 364,889 Kunjungan

Resensi yang lain

Index

my pictures at flickr

Goodreads