peluncuran-mengislamkan-jawa

Dapatkah orang Jawa menjadi Islam 100%?

Pertanyaan ini justru bersemayam di dalam kepala saya ketika mengikuti acara launching buku “Mengislamkan Jawa” (Serambi: November 2013) karya M.C. Ricklefs, Senin malam, 25 November 2013, bertempat di lantai 3 Gedung CSIS di Tanah Abang III, Jakarta.

Saya yang terlahir sebagai orang Jawa, berayah ibu Jawa yang beragama Kristen, bisa jadi  merupakan gambaran kecil dari potret kehidupan beragama di Jawa, yang  kemudian memeluk Islam.

Menurut Profesor Ricklefs, ada “Sintesis Mistik,” yang terjadi pada orang Jawa yang Islam. Di sana ada 3 pilar utama, (1) menjadi orang Jawa berarti menjadi Muslim, (2) melaksanakan rukun Islam (mengucapkan syahadat, Shalat 5 waktu, puasa, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji, (3) kontradiksi dari keduanya: penerimaan terhadap realitas kekuatan supranatural khas Jawa, seperti Ratu Adil, Sunan Lawu, dan banyak lagi makhluk adikodrati yang lebih rendah.

Buku ini merupakan terjemahan dari buku yang berjudul “Islamisation and Its Opponent in Java,” (NUS Press, Singapore: 2012). Penolakan Islam di Jawa dapat diartikan sebagai penolakan terhadap proses pemurnian dari unsur ke 3 dari 3 pilar yang disampaikan Prof. Ricklefs di atas. Sebagaimana yang selama ini semakin keras dilakukan oleh sekelompok Muslim garis keras terhadap sesama Muslim yang cenderung moderat atau “Abangan.” Buku ini mengambil kurun waktu santara tahun 1930 hingga saat ini. Sepanjang masa itu, Islam mengalami pasang naik dan pasang surut. Kendali pemerintah Jepang, kemudian Soekarno relatif kendur terhadap Islam. Dan kendali terhadap agama Islam menjadi kuat pada masa Soeharto. Pada masa itu terdapat pola hubungan aliansi antara kelompok garis keras dengan penguasa dengan “musuh bersama” yaitu Kristen dan sesuatu yang berbau “Yahudi.” Poin penting dari buku ini adalah bagaimana masyarakat Jawa menghadapi dialektika perkembangan Islam.

Kelebihan buku ini menurut Ihsan Ali Fauzi dari Paramadina, adalah bahwa ada rentang yang panjang dalam memaparkan perkembangan Islam di Jawa. Jadi perkembangan Islam tidak terpotong-potong, seperti kebanyakan buku-buku lain yang cenderung memotret masa tertentu. Meskipun lumayan tebal dan detail, buku setebal 885 ini tidaklah membosankan, karena ditulis dalam gaya bahasa yang mengalir dan enak. Bahkan menurut Ihsan, seperti membaca bukunya Pram!

Peneliti CSIS, Philip J. Vermonte, yang mendapat kesempatan membahas buku ini, justru memaparkan perspektif lain yaitu dari sisi politik elektoral. Terdapat perekembangan yang menarik atas pilihan politik seseorang yang ternyata tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh pertimbangan agama. Taruhlah misalnya di atas kertas mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, tapi pada kenyataanya, jumlah suara yang diberikan untuk partai politik berbasis Islam tidaklah cukup signifikan. Menurut padangan Philip, bisa jadi dengan demokrasi moderen itu individu kemudian memiliki otonomi untuk menentukan pilihan. Efek politiknya: individu menjadi moderat, sebaliknya di sisi yang lain, partai politik berbasis Islam justru terpuruk. Tapi ada anomali yang terjadi di sini, yaitu masayarakat menjadi konservatif dalam persoalan agama (cenderung semakin taat dan berpotensi bergaris keras) tapi untuk urusan preferensi politik ternyata tidak selalu ke partai yang berbasis Islam.

Dalam salah satu komentarnya Ulil Abshar Adalla, yang juga sempat hadir di sana, menyampaikan bahwa  hal itu bisa saja terjadi karena agama sudah masuk ke wilayah privat, dan tak lagi menjadi urusan umat. Jadi agama hanya menjadi urusan pribadi masing-masing orang.

Diskursus soal politik elektoral versus penerbitan buku ini menurut saya menjadi menarik karena menjelang pemilu 2014. Pada hitung-hitungan bisnis, waktu penerbitan buku ini pastilah menjadi pertimbangan penting. Buku ini pasti akan diburu oleh para pemikir di belakang tim sukses partai politik yang merasa perlu untuk menyiapkan siasat demi memenangkan suara mayoritas Muslim itu. Selain tentu saja buku ini akan menjadi menu wajib bagi saiapa saja yang haus dengan informasi sejarah.

Pada sesi tanya jawab, ada seseorang  yang menanyakan kepada Prof. Ricklefs, “Apa yang ingin Anda sampaikan melalui buku ini, terutama menyangkut  masa depan perkembangan Islam di Jawa. Apakah masa depan Islam di Jawa cenderung suram dan apakah buku ini menawarkan solusinya?

Prof. Ricklefs menjawab ringkas,  “Tugas saya sebagai sejarahwan adalah menuliskan fakta dan merangkainya menjadi satu gambar untuk untuk dipelajari. Selebihnya itu bukan urusan saya.”

Reportase oleh Hartono Rakiman, pengasuh Rumah Baca.

1 Response to “Launching buku “Mengislamkan Jawa””



  1. 1 Mengislamkan Jawa, Mungkinkah? | RUMAH BACA Trackback on Monday, March 17, 2014 at 5:14 pm

Leave a comment




Data pengunjung

  • 365,024 Kunjungan

Resensi yang lain

Index

my pictures at flickr

Goodreads