Dongeng Gayatri

Review novel “Dia Gayatri” (Tanda Baca: 2020) akan saya ulas melalui cerita, begini:

Di tengah-tengah kesibukan saya berkebun di lahan belakang rumah saya di Tawangmangu, lereng Gunung Lawu, tiba-tiba saya mendapat pesan singkat dari Mas Bre, apakah saya bersedia mengisi acara launching novelnya “Dia Gayatri.” Saya merasa mendapat kehormatan sekaligus tantangan demi membaca SMS itu. Pesannya singkat: bagaimana mas Hartono hendak menampilkan presentasinya  terserah saja! Formatnya adalah performance, bersama Happy Salma dan Joss Wibisono!

Publik sudah tahu,  mereka semua adalah budayawan dan seniman. Lha, saya ini kan hanya seorang pembaca buku dan pegiat literasi kapiran di Rumah Baca! Bagaimana caranya?

Maka saya kemudian berfikir keras untuk segera menemukan wangsit soal bagaimana memanaskan diskusi buku dengan format performance. Sebagai seorang pembaca buku sekaligus fasilitator pelatihan, saya terbiasa menggunakan alat bantu saat melakukan fasilitasi. Wangsit kilat yang terbersit di kepala adalah wayang kardus! Ya, wayang dari bahan kardus.

Jadilah wayang kardus akan saya jadikan alat bantu ketika menjelaskan pesan yang akan saya sampaikan secara verbal. Lalu, siapa yang akan bikin wayang kardus. Kan, saya bukan seniman? Alhasil, saya mendapat pertolongan dari Imantopo Dipo Suksma, seorang mahasiswa ISI Jogja, yang tak lain dan tak bukan adalah anak ragil saya sendiri! Kemudian saya menggunakan pesan serupa dari Mas Bre Redana untuk anak saya: terserah kamu mau gambarkan seperti apa wayang kardusmu. Yang penting, bapak ingin menjelaskan tentang buku-buku, komodifikasi, perempuan, musik, tukang cerita, Gayatri Rajapatni, dan Sabdo Palon!

Wayang Kardus karya Imantopo Dipo Suksma

Pada tanggal 27 November 2020, pukul 15.00-17.00 acara zoomlaunching kemudian berjalan meriah, dipandu oleh Sarie Febriane dari Kompas, dihadiri kurang lebih 50 undangan terbatas yang sebagian besar berasal dari kalangan seniman dan budayawan. Diantaranya ada Tanto Mendut, Prof. Hendrawan Supraktikno, Pak Dar, dll.

Acara kemudian dibuka dengan tembang Jawa yang berasal dari Kitab Wulangreh oleh Joss Wibisono langsung dari Amsterdam. Joss Wibisono tampil lengkap dengan blangkon dan beskap. Tampak perbowo dan njawani. Selesai nembang, langsung disambar dengan monolog Gayatri oleh Happy Salma.

Tampil anggun dan sederhana, Happy Salma membacakan nukilan monolog Gayatri Rajapatni dari novel “Dia Gayatri,” ditingkah suara anjing di kejauhan. Maklum Happy Salma membacakan monolog itu dari sebuah kamar di Pulau Bali.

Happy Salma dengan monolog Gayatri

Giliran saya mewakili pembaca buku menyampaikan pendapat sekaligus memanaskan diskusi soal novel yang baru tayang ini. Saya mengawali kesaksian tentang perjumpaan saya dengan Mas Bre Redana melalui tulisan-tulisannya pada kolom budaya di Harian Kompas dan buku-bukunya: Rex, Urban Sensation, Blues Merbabu, 65, Mind-Body-Spirit: Aku Bersilat Maka Aku Ada.

Dengan medium wayang kardus saya mulai menjelaskan bahwa hampir semua tulisan dan buku-buku Mas Bre Redana memiliki benang merah, yaitu tentang budaya pop, komodifikasi, konsumerisme, aroma wangi perempuan, dan lagu-lagu tahun 60/70 an. Selain itu, saya juga menemukan filosofi hidup tentang konsistensi dan fokus, serta soal mencari dan menemukan. Sering terjadi kita berambisi untuk mencari, tapi seringkali tak menemukan yang kita cari. Sebaliknya, yang tidak kita cari justru kita temukan. Itulah hadiah dari kepasrahan total.

Hartono Rakiman, kesaksian pembaca novel “Dia Gayatri”

Pada diskusi soal novel “Dia Gayatri” saya mengajak seluruh peserta diskusi untuk meninjau novel sebelumnya, yang saya sebut sekuel tentang Majapahit, yaitu “Majapahit Milenia” (KPG: 2019). Pada novel “Majapahit Milenia” menceritakan soal kejatuhan kerajaan Majapahit dan digantikan kerajaan Mataram Islam. Sebaliknya, “Dia Gayatri” mengawali kemunculan Majapahit berkat peran besar Gayatri di belakang layar. Tokoh utama pada novel “Majapahit Milenia” adalah Karebre, sedangkan pada “Dia Gayatri” adalah Karani.

Saya tergelitik dengan penamaan tokoh Karebre, yang setahu saya selama ini bernama Karebet atau biasa dipanggil Mas Karebet. Tapi oleh Mas Bre Redana diubah menjadi Karebre. Barangkali ingin menegaskan bahwa Karebre masih punya darah Majapahit yang mengalir dalam tubuhnya, serupa dengan nama pena yang melekat pada dirinya: Bre Redana! Selain itu, secara  persamaan bunyi atau rima, nama tokoh pada kedua novel, yaitu Karebre dan Karani terdengar sama.

Perbandingan kedua novel sama-sama menceritakan soal politik kekuasaan. Bedanya novel “Majapahit Milenia” lebih mengedepankan politik kekuasaan dibalut dengan dongeng asmara. Sedangkan “Dia Gayatri” lebih menonjokan pentingnya menghargai perbedaan atau keberagaman.

Novel pertama, menurut saya lebih maskulin dengan menyitir sejarah Majapahit sebagai His-Story (sejarah-nya dengan kata ganti laki-laki atau orang yang sedang berkuasa). Sedangkan novel kedua, menurut saya lebih feminine, dengan tokoh Gayatri dan Karani sebagai Her-Story.

Terlepas dari perbedaan keduanya, terdapat benang merah yang menghubungkan keduanya. Hal penting yang ingin disampaikan oleh Mas Bre Redana melalui novelnya adalah soal reinkarnasi. Pada pemahaman anak sekarang, reinkarnasi mudah dipahami sebagai fenomena time traveler. Karani yang “kalenggahan” eyang Gayatri Rajapatni dan tukang cerita yang “kalenggahan” roh Banca-Naya ketika tetirah di sebuah candi lereng Gunug Lawu pada Kamis Kliwon malam Jumat Legi. Tapi menurut saya tukang cerita – yang tak lain adalah Mas Bre Redana sendiri – sudah “kalenggahan” roh Banca-Naya atau Sabdo Palon Noyo Genggog sejak dilahirkan.  Karena nama asli Mas Bre Redana adalah Don Sabdono!

Benang merah yang lain adalah soal pergulatan fakta dan fiksi, atau antara realitas dan dongeng. Bagi Mas Bre, fakta tak sepenuhnya dapat dipahami sebagai satu-satunya fakta. Karena pasti di sana ada unsur kepentingan, terutama yang sedang berkuasa. Maka dongeng atau fiksi sekalipun adalah bagian dari realitas itu sendiri. Karena suka tidak suka, kehidupan kita dibentuk oleh dongeng. Ada dongeng dewa-dewi Yunani, Mahabarata, Ramayana, Sangkuriang, Cerita Panji Inu Kertapati dan Candrakirana, dll – termasuk kisah-kisah pada kitab suci yang kita Imani selama ini.

Dari pergulatan fakta dan fiksi inilah, Mas Bre kemudian mengangkat dirinya sebagai tukang cerita, setelah selama 30 tahun menjadi tukang berita. Inilah babak kebebasan dirinya semasa pensiun sebagai jurnalis pada Harian Kompas, untuk kemudian bebas mendongeng apa saja, sebagai cara menyampaikan gagasan.

Sebagai penutup cerita saya soal review novel “Dia Gayatri” saya ingin mengatakan bahwa kedua novel ini seolah ingin menggenapi sumpah Banca-Naya 500 tahun yang lalu untuk menitis kembali pada masa mendatang. Sekaligus menagih janji bahwa tanah Jawa akan kembali makmur manakala kembali ke budi  atau budaya. Titenono!

Review novel oleh Hartono Rakiman, pengasuh Rumah Baca

2 Responses to “Dongeng Gayatri”



Leave a comment




Data pengunjung

  • 365,024 Kunjungan

Resensi yang lain

Index

my pictures at flickr

Goodreads