Naskah “Memang Jodoh,” karya terakhir Marah Rusli, baru boleh diterbitkan setelah seluruh tokoh yang ada dalam buku itu meninggal dunia. Dan itu harus menunggu setelah lebih dari 50 tahun lamanya.

Rully Roesly sedang menandatangai launching buku sang kakek, Marah Rusli "Memang Jodoh" foto oleh Imastari Wulansuci

Rully Roesly sedang menandatangai launching buku sang kakek, Marah Rusli “Memang Jodoh” foto oleh Imastari Wulansuci

Suasana teater Salihara pada hari Minggu, 21 Juli 2013, tampak gaduh tidak seperti biasanya. Terdengar suara anak-anak kecil bermain di barisan belakang kursi penonton. Rasanya tidak pas mebawa anak-anak kecil yang belum paham tentang gedung pertunjukan. Tapi saya kemudian maklum, karena mereka adalah anak-anak dari keluarga besar Marah Rusli yang sedang mengadakan perhelatan berupa peluncuran buku karya terkahir kakek buyut mereka.

Ini adalah karya terakhir Marah Rusli yang sempat tersimpan lebih dari 50 tahun lamanya. Karya sastra diterbitkan oleh Qanita, lini penerbitan dari Mizan. Tentu ada cerita menarik, mengapa naskah ini sampai tersimpan begitu lama dan diterbitkan oleh Mizan.

Adalah Rully Roesli, salah seorang cucu Marah Rusli, yang seorang dokter  dan juga seorang penulis buku  “Playing ‘God’ ” yang juga diterbutkan oleh Mizan. Pada suatu hari Rully Roesli  mencoba menawarkan kepada Mizan bahwa dia punya naskah Marah Rusli yang sempat disimpam oleh keluarga selama lebih dari 50 tahun. Wasiat dari sang penulis adalah, bahwa naskah ini baru boleh diterbitkan setelah seluruh tokoh yang ada dalam buku itu meninggal dunia. Dan itu harus menunggu setelah lebih dari 50 tahun lamanya!

Narasi dibalik perjalanan naskah hingga diterbitkan sudah cukup membuat para pembaca menunggu-nunggu karya ini. Apalagi, naskah asli “Memang Jodoh” ini ditulis dalam tulisan Arab Gundul. Jadi tentu memerlukan proses panjang sebelum sampai pada edisi cetak oleh Mizan.

Beberapa catatan ringkasan dari komentar para pembicara yang terdiri dari Rully Roesli, Remy Sylado dan Fira Basuki. Diskusi dimoderatori oleh Anton Kurnia.

Rully Roesli:

Pada awalnya belum ada keputusan kapan nasakah terakhir Marah Rusli ini akan diterbitkan. Tapi keluarga kemudian memutuskan bahwa naskah yang ditulis Marah Rusli bukan milik keluaraga tapi sebagai warisan budaya untuk bangsa Indoensia. Dan ini juga sesuai dengan wasiat dari sang penulis untuk boleh menerbitkan setelah seluruh tookoh yang ada dalam buku itu meninggal dunia.

Menurut Rully, karakter keseharian Marah Rusli adalah sopan dan tidak meledak-ledak. Maka, ketika dia menyampaikan kritik yang tajam sekalipun akan dia lakukan secara sopan, utamanya lewat tulisan. Buku Siti Nurbaya yang legendaris itu, sebenarnya adalah salah satu cara Marah Rusli mendobrak tradisi suku Minang yang tergolong kaku untuk urusan perkawinan.

Dalam buku “Memang Jodoh” ada ditulis sang tokoh utama, Hilmi, yang tak lain adalah Marah Rusli sendiri pergi ke Belanda untuk melanjutkan studi. Pada kisah yang sebanarnya, Marah Rusli, tidak pernah pergi ke Belanda. Buku ini memang semi autobiography dari Marah Rusli sendiri, yang menceritakan perjalanan kisah asmara dengan gadis Sunda bernama Raden Putri Kencana.

Penerbitan buku ini dapat dikatakan sebagai hadiah 50 tahun perkawinan antara Marah Rusli dan Raden Putri Kencana.

Remy Sylado:

Pembaca harus mencoba menarik  mundur 100 tahun kebelakang untuk dapat memahami konteks cerita dan gaya bahasa yang digunakan. Jadi pasti ada jarak antara teks dan seting cerita dengan pembaca.

Menurut Remy Sylado, ini adalah keberanian Mizan untuk menerbitkan buku klasik yang sekarang tidak popular. Tapi bisa penilaian itu salah, karena bisa jadi pasar pembaca buku saat ini sudah jenuh dengan buku-buku yang ada dan merindukan buku klasik semacam ini.

Sebagai buku klasik, pilihan menggunakan paper back untuk cover, menurut Remy Sylado,  kurang tepat. Seharusnya menggunakan hard cover.

Sebagai munsyi atau ahli bahasa, Remy Sylado mengupas buku ini dari kontek bahasa yang digunakan. Dikatakan bahwa Marah Rusli hidup dalam kontek ketika Indonesia mendapat pengaruh yang besar dari Belanda. Bahasa yang digunakan oleh Belanda pada waktu itu adalah Melayu Tinggi. Marah Rusli, sebagai salah satu pelajar yang mendapat didikan Belanda tentu terpengaruh dengan bahasa tersebut.  Dialog yang digunakan dalam buku Marah Rusli akan terdengar janggal, karena memang bahasa yang dipakai bukan bahasa pasar, atau bahasa yang dipakai sehari-hari, melainkan bahasa Melayu Tinggi yang sering dipakai Belanda. Tapi untuk sebuah pentas teater, naskah dialog model Marah Rusli ini akan terasa sangat kuat.

Fira Basuki:

Fira Basuki menanggapi buku ini secara personal, dikaitkan dengan pengalaman pribadinya yang srupa benar dengan cerita pada “Memang Jodoh.”

Fira Basuki yang dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga berdarah biru dan Kraton Jogja, pernah mengalami problema dalam menentukan jodoh. Tak soal dia pernah kuliah S2 di Amerika Serikat, yang tergolong sudah majudan modern. Ketika menentukan jodoh, maka keluarga besar akan ikut andil bagian. Budaya Jawa sangat kental dengan urusan bibit, bebet, bebet, bobot (garis keturunan, pangkat, kekayaan, penampilan), apalagi untuk golongan berdarah biru.

Reportase oleh Hartono Rakiman, pengasuh Rumah Baca.

1 Response to “Wasiat Terakhir Marah Rusli”


  1. 1 Ika D. S. Thursday, October 24, 2013 at 10:38 am

    Saya pengen baca buku-buku klasik penulis Indonesia. Saya sudah baca Siti Nurbaya, Kasih Tak Sampai, Dari Ave Maria. Buku Marianne Katoppo yang Dunia Tak Bermusim juga, bagus banget. Tapi buku selanjutnya susah dapetnya.
    Oh, ya, kebanyakan saya cari di Perpustakaan Kota, sih…


Leave a comment




Data pengunjung

  • 365,021 Kunjungan

Resensi yang lain

Index

my pictures at flickr

Goodreads