Kota Dalam Ranselku: Catatan Backpacker Febrie Hastiyanto

Cover buku "Kota dalam Ranselku: Catatan Backpacker Febrie Hastiyanto." (Tigamaha: 2012).

Cover buku “Kota dalam Ranselku: Catatan Backpacker Febrie Hastiyanto.” (Tigamaha: 2012).

Ada 2 orang yang unik dalam hal menulis, yang pernah saya temui sepanjang hidup. Orang pertama adalah Gol A Gong. Dia menulis dengan menggunakan satu tangan saja, karena tangan kirinya pernah diamputasi sewaktu kecil. Tapi semangat menulisnya tak pernah kendur. Hebatnya lagi, pada awal karier kepenulisannya, dia belum menggunakan komputer yang gampang diedit, tapi menggunakan mesin ketik biasa yang kalau salah ketik harus diedit pakai tip-ex. Tapi hal itu juga tak dilakukannya. Salah ketik, maka akibatnya adalah mengetik ulang. mulai dari awal lagi. Wah, nggak kebayang kerja kerasnya!

Orang kedua adalah Febrie Hastiyanto. Saya megenalnya lewat dunia maya, yang kemudian menjadi kontributor setia di Rumah Baca. Tulisannya mengalir, dan sudah menembus kemana-mana. Tak kurang cerpen, puisi dan artikel menembus di berbagai koran di tanah air. Dan saya baru tahu bahwa semua tulisan itu dia buat di Warnet, karena di rumah tak punya komputer!

Kini saya menemukan buku pertamanya berjudul “Kota dalam Ranselku: Catatan Backpacker Febrie Hastiyanto.” (Tigamaha: 2012). Dan saya tahu betul, semua bahan tulisan dalam buku itu dia tulis di Warnet!

Catatan Febrie terasa personal. Lebih banyak menyoroti soal sejarah, kuliner, dan budaya di sekitar lokasi yang dia kunjungi. Saya menikmati catatan perjalanannya, terutama ketika menceritakan jalan-jalan berdua bersama istri tercinta. Tak ada cerita soal menyewa limousine atau menginap di cottage, apalagi hotel berbintang. Tak ada cerita belanja kalung mutiara, belanja perak di Kota Gede, atau belanja Batik di Solo untuk istri tercinta. Mereka berdua melewatkan perjalanan itu secara sederhana. Barangkali memang itu adalah laku hidup yang sedang mereka nikmati berdua. Dan itu justru menjadi kenangan perjalanan yang tak ternilai harganya.

Semestinya setiap orang bisa menempuh model jalan-jalan seperti itu. Memulai dengan jalan-jalan di Nusantara, mengabarkan tentang kekayaan alam. budaya, adat istiadat yang tidak semua orang memahaminya. Tak menutup kemungkinan, Febrie akan melanjutkan catatan backpacker-nya di luar negeri. Tapi itu mungkin masih lama, atau untuk sementara kesempatan itu biar diambil teman-teman lain yang suka backpacker ke luar negeri. Saya justru khawatir, jika Febrie ke luar negeri, tak ada orang Indonesia yang mau mengabarkan kekayaan gemah ripah Nusantara. Semua terpesona dengan sesuatu yang berbau luar negeri, sesuatu yang berbahasa Inggris, Jepang, atau Korea!

Saya justru lebih menikmati catatan soal Nasi Kucing, seperti yang ditulis oleh Febrie, “Makan adalah soal cara. Kita semua menyebutnya sebagai nasi. Namun ketika ia dimasukkan dalam bambu dan dibakar, kita menyebutnya Nasi Bakar. Bila ia dibungkus daun jati, orang Cirebon menyebutnya Nasi Jamblang. Dibungkus selagi hangat dengan daun pisang muda lain lagi, namanya Nasi Timbel. Dibungkus sejumput kecil di Bali, disebut Nasi Jinggo. Di Tegal orang bilang Nasi Ponggol. Lain lagi Wong Solo dan Wong Jogja, inilah yang paling populer sebagai Nasi Kucing.”

Review buku itulis oleh Hartono Rakiman, pengasuh Rumah Baca

0 Responses to “Kota Dalam Ranselku: Catatan Backpacker Febrie Hastiyanto”



  1. Leave a Comment

Leave a comment




Data pengunjung

  • 365,055 Kunjungan

Resensi yang lain

Index

my pictures at flickr

Goodreads